Skema tak jelas, program Tapera pun menggantung



Jakarta. Skema penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih belum jelas. Pro dan kontra atas program pembiayaan perumahan masih panas di kalangan para pengusaha.

Pengusaha tetap pada pendiriannya bila kebijakan ini akan memberikan beban tambahan yang harus ditanggung. Oleh karena itu, mereka mengusulkan agar pemberlakuan kebijakan ini disinergikan dengan program Jaminan Sosial (Jamsos) yang telah ada misalnya di program BPJS Ketenagakerjaan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, Tapera ini lebih baik disinergikan dengan program yang dimiliki oleh BPJS Ketenagakerjaan yakni Jaminan Hari Tua (JHT). "Bila tidak disinergikan, maka program ini akan berjalan lama," kata Hariyadi, Kamis (27/10).


Selain itu berbagai pihak harus berbenah. Aparatur Sipil Negara (ASN) juga harus mengikuti aturan yang sama dengan peserta lain. Sehingga tidak ada kecemburuan terkait dengan pembayaran iuran kepesertaan.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan, skema yang ditawarkan UU Tapera untuk mendapatkan fasilitas perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hampir mirip dengan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

Kendala yang bakal dihadapi dalam penyediaan rumah murah ini adalah masyarakat dari kalangan pekerja informal. Bila disandingkan dengan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, maka akses pemberian program Tapera akan sulit diterapkan kepada seluruh sektor masyarakat.

Mengacu pada ketentuan UU Tapera ini masyarakat yang mendapat fasilitas bantuan perumahan melalui program Tapera adalah berdasarkan pada standar UMP. Dengan patokan tersebut maka akan ada sebanyak 45 juta masyarakat yang tidak dapat mendapat akses.

Sekadar catatan, dalam program JHT BPJS Ketenagakerjaan ini peserta dapat mencairkan dananya sebesar 30% untuk pembiayaan perumahan atau 10% untuk kebutuhan lainnya. Tantangan yang lain yang perlu diwaspadai adalah kepesertaan yang tidak didaftarkan seluruhnya oleh pemberi kerja.

Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mengatakan kehadiran UU Tapera ini dalam rangka mensinkronkan dan mengintegrasikan jaminan sosial yang ada. Prinsip dasarnya adalah mengembalikan eksistensi negara dengan sistem kegotong royongan.

Misbakhun menekankan skema pungutan yang tidak memberatkan pangusaha nantinya akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah (PP). Dibutuhkan solusi-solusi konkret dan duduk bersama untuk mengatasi 15 juta backlog.

Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Maurin Sitorus mengakui tantangan berat dalam implementasi kebijakan ini adalah pengumpulan dana dari peserta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto