KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses alih muat batubara di Pelabuhan Muara Berau Samarinda berpotensi terhambat pasca rencana pemberlakuan rekomendasi tarif jasa kepelabuhanan per 1 Oktober 2023. Setiap tahunnya, terdapat lebih dari 90 juta ton batubara dikirim untuk tujuan ekspor dan domestik dari pelabuhan ini. Proses ini pun diproyeksikan terhambat. Para produsen batubara (shipper), perusahaan pemilik floating crane (FC), dan perusahaan bongkar muat (PBM) anggota APBI yang menggunakan pelabuhan alih muat di Muara Berau Samarinda mengkhawatirkan terganggunya kegiatan usaha yang selama ini berjalan lancar, setelah Kementerian Perhubungan menetapkan rekomendasi tarif jasa kepelabuhanan kepada PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PTB) yang merupakan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) di Pelabuhan Muara Berau Samarinda pada tanggal 24 Juli 2023. PTB mengelola konsesi yang diberikan oleh Pemerintah selama 25 tahun.
Ketua APBI Pandu Sjahrir mengungkapkan, APBI menolak dengan tegas penetapan rekomendasi tarif jasa kepelabuhan oleh Kementerian Perhubungan ini karena ditetapkan secara sepihak oleh Kementerian Perhubungan meskipun sebelumnya masih dalam proses pembahasan (bisnis proses dan tarif) yang melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, PTB dan APBI. "Dengan penetapan rekomendasi tarif baru ini maka seluruh kegiatan alih muat di Pelabuhan Muara Berau Samarinda akan di-monopoli oleh PTB," kata Pandu dalam siaran pers, Kamis (28/9).
Baca Juga: Maraknya Jasa Digital Bajakan Bisa Gerus Pendapatan Negara Pandu menambahkan, pihaknya sangat keberatan jika ada skema monopoli dalam proses bisnis. Selain itu, kebijakan ini dinilai bakal merubah skema yang sudah ada selama ini. Nantinya, pihak shipper tidak bisa menunjuk langsung pemilik FC atau PBM, namun harus melalui PTB. Tarif yang baru tersebut menurut pihak shipper akan menambah beban biaya sekitar US$ 0,8 per MT untuk kapal Gearless dan sekitar US$ 0,42 per MT untuk kapal Geared and Grabbed, yang mana tarif tersebut akan diterima oleh pihak PTB tanpa melakukan layanan jasa. "Perusahaan keberatan membayar tarif karena berpegang pada prinsip umum didunia usaha yaitu “no service no pay”. Selain itu dengan penambahan beban biaya tersebut akan berpotensi terhadap penurunan penerimaan negara baik melalui pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor energi dan sumber daya mineral," tambah Pandu. Adapun, sebagian besar pemilik FC hingga saat ini belum melakukan registrasi untuk masuk ke dalam sistem ORBIT yang diaplikasikan oleh PTB yang menjadi prasyarat proses bisnis. APBI menyebutkan, jika kondisi ini berlanjut hingga tarif diberlakukan per 1 Oktober 2023 maka kemungkinan proses alih muat batubara akan terhambat, sehingga ekspor dan maupun pasokan ke PLN dari Pelabuhan Muara Berau akan terganggu.
Baca Juga: Ekonom Ini Sarankan Tarif Tinggi Pajak E-commerce Agar Belanja Offline Meningkat APBI juga keberatan tidak diakomodir sebagai pihak yang dilibatkan dalam proses konsultasi usulan tarif jasa kepelabuhanan seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 121 Tahun 2018. "Seharusnya APBI yang beranggotakan lebih dari 90 perusahaan pertambangan batubara sebagai shipper merupakan salah satu pihak yang sangat berkepentingan dan bahkan akan sangat dirugikan jika ada usulan penetapan tarif tanpa persetujuan dari APBI," imbuh Pandu.
Pandu mengharapkan, pemerintah untuk membantu mencarikan solusi baik bagi pihak shipper, perusahaan pemilik FC maupun juga pihak PTB agar proses pengapalan batubara dari Muara Berau bisa berjalan lancar dan negara tidak dirugikan. Selain itu, penetapan tarif yang dinilai memberatkan pelaku usaha pun dianggap tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang mendorong dunia usaha melalui UU Cipta Kerja. Selain itu, hambatan pengapalan akibat proses bisnis yang belum disepakati, dapat mengganggu kelancaran logistik ditengah upaya pemerintah mendorong pengembangan tol laut nasional. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari