Skenario terburuk harga minyak dunia



JAKARTA. Goldman Sachs menyulut sinyal buruk ke pasar minyak. Pekan lalu, raksasa perusahaan keuangan yang berbasis di Amerika Serikat (AS) ini memangkas prediksi harga minyak bahkan hingga ke posisi US$ 20 per barel.

Hitungan Goldman Sach, dunia kebanjiran pasokan minyak mentah. Memang, Amerika Serikat (AS) menurunkan produksi. Tapi negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terus memompa produksi minyak. Kini, suplai minyak dunia mencapai 96,4 juta barel per hari, sementara kebutuhannya hanya 93,5 juta barel per hari.

Hingga pekan lalu, posisi stok minyak juga berlebih 2,6 juta barel menjadi 458 juta barel. Akibat melubernya pasokan minyak, Goldman memangkas proyeksi harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tahun 2016 menjadi US$ 45 per barel dari sebelumnya US$ 57 per barel.


Bahkan skenario terburuk, jika luberan produksi tak terbendung, harga minyak mentah bakal tergelincir ke level US$ 20 per barel. Sebagai perbandingan, Jumat lalu, harga minyak WTI untuk kontrak Oktober 2015 bertengger di posisi US$ 44,63 per barel, turun dari posisi US$ 45,92 per barel.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo berpendapat, penurunan harga minyak memunculkan dua skenario bagi Indonesia. Sebagai importir minyak, harga minyak yang murah berefek positif bagi ekonomi Indonesia. "Ekonomi akan mendapatkan tenaga ekstra dari penurunan ini," ujar dia kepada KONTAN, Minggu (13/9).

Persoalannya, di sisi lain, kultur di Indonesia sangat buruk terkait harga minyak. Sewaktu harga BBM turun, inflasi tak ikut turun. Tapi ketika harga BBM naik, harga barang ikut naik. "Kultur ini perlu diubah," tegas Satrio.

Kepala Riset NH Korindo Securities Reza Priyambada melihat, penurunan harga minyak membuat defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia bisa membaik. Syaratnya, kurs rupiah menguat terhadap dollar AS.

Penilaian Satrio, menyusutnya harga minyak menguntungkan sebagian emiten, terutama sektor konsumer. Sebab, penurunan harga minyak bisa berefek ke tarif listrik dan Bank Indonesia bisa menurunkan bunga. Sebaliknya, penurunan harga minyak bakal menekan emiten pertambangan mineral, gas dan batubara.

Padahal, emiten ini sudah tertekan. Bahkan, bobot indeks pertambangan di BEI sudah pudar. Tahun 2010, bobot emiten tambang terhadap IHSG sekitar 16,29% atau posisi kedua setelah perbankan. Kini, bobot indeks pertambangan, termasuk migas, turun ke posisi delapan dan hanya menopang 3,79% terhadap IHSG.

Prediksi Satrio, harga minyak bertahan di level support saat ini US$ 42 per barel. Skenario terburuknya, harga minyak jatuh ke level US$ 30 per barel. "Untuk jatuh ke posisi US$ 20 per barel, masih sulit," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie