SKK Migas: Insentif hulu migas dorong penambahan penerimaan negara Rp 41 triliun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan pemberian insentif hulu migas sejak tahun 2020 telah mendorong peningkatan penerimaan negara.

Sampai Agustus tahun 2021, pelaksanaan insentif hulu migas mendorong investor untuk segera melakukan proses pengembangan lapangan minyak dan gas serta pemutakhiran cadangan melalui persetujuan POD OPL dan OPLL, sehingga memberikan tambahan cadangan minyak dan gas sebesar 465,5 MMBOE dan penambahan penerimaan Negara minimal US$ 2,9 miliar atau sekitar Rp 41 triliun.

Pemberian insentif hulu migas juga mendongkrak realisasi investasi pemboran dan fasilitas produksi sebesar US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 50 triliun, yang meliputi pemboran 88 sumur pengembangan, 15 sumur injeksi, 32 reaktivasi sumur, 1 sumur step out dan konstruksi serta pemasangan fasilitas produksi. Sedang manfaat yang diterima Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah adanya peningkatan pendapatan KKKS sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 21,75 triliun.


Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengungkapkan pemberian insentif meningkatkan daya saing investasi dan iklim investasi hulu migas Indonesia menjadi lebih menarik. Insentif juga menjaga produksi minyak dan gas pada tahun-tahun mendatang karena keberadaan insentif juga meningkatkan cadangan migas. 

"Insentif nyata-nyata memberikan dampak positif karena menambah penerimaan negara minimal Rp 41 triliun, serta mampu menjadi katalis positif bagi industri hulu di tengah pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kinerja operasional hulu migas,” Kata Dwi dalam Gelaran IPA Convex 2021, Rabu (1/9).

Dengan adanya fakta-fakta positif tersebut, SKK Migas bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM terus menerus mengkaji insentif-insentif lain yang bisa diberikan untuk mendorong kinerja industri hulu migas yang lebih baik di masa yang akan datang.

Baca Juga: Hulu migas diharapkan berkontribusi dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi

Lebih lanjut, Dwi menyampaikan isu utama pembahasan insentif hulu migas bukan pada pengorbanan hak negara. Isu utamanya adalah bagaimana agar potensi produksi hulu migas dapat dimaksimalkan. “Indonesia memiliki 128 cekungan. Yang sudah berproduksi baru 20 cekungan. Untuk mengusahakan cekungan lainnya, dibutuhkan pengkondisian agar cekungan yang belum berproduksi dapat segera dilakukan kegiatan. Sebagai industri dengan resiko tinggi dan membutuhkan investasi yang besar, maka perlu kebijakan yang mampu menarik investor menanamkan modalnya,” tambah Dwi.

Penjelasan Dwi diperkuat oleh Hasil Studi yang mengatakan setiap investasi di hulu migas sebesar US$ 1 miliar akan menciptakan multiplier effect dalam menciptakan lapangan kerja baru dan melibatkan sekitar 100 ribu lapangan pekerjaan.

Insentif yang diberikan tersebut di atas pada saat pandemi Covid-19, telah berkontribusi bagi industri hulu migas untuk menyerap sekitar 350 ribu tenaga kerja. Ini tentu berkontribusi positif bagi hulu migas lainnya yang diberikan dalam membantu Pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan saat pandemi seperti ini. Selain itu, tentunya akan menumbuhkan industri nasional yang akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

Kemudian Dwi menambahkan bahwa kata kunci dalam upaya peningkatan produksi migas adalah  bagaimana meningkatkan daya saing, yang kemudian dengan investasi yang masuk di masa yang akan datang akan menghasilkan pendapatan. “Dari sini, kemudian potensi penerimaan negara yang belum diterima karena dijadikan insentif, maka seiring waktu potensi tersebut dapat direalisasikan ditambah tambahan penerimaan yang baru”.

Baca Juga: SKK Migas restui rencana pengembangan komplek Gajah Besar, total investasi Rp 478 M

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan bahwa kebutuhan energi minyak dan gas akan terus meningkat di masa yang akan datang. Untuk energi minyak, di tahun 2050 RUEN memperkirakan dibutuhkan sekitar 3,97 juta barel.

Memperhatikan produksi rata-rata minyak pada kisaran 706 ribu barel di tahun lalu, maka terdapat selisih (gap) yang sangat besar yang tentunya berdampak pada meningkatnya impor migas dan menjadi beban bagi negara. Oleh karena itu, diperlukan Peningkatan Produksi Migas untuk mengurangi Current Account Deficit (CAD) yang semakin melebar dan menjaga stabilitas ekonomi.

Dwi menambahkan, sesungguhnya target hulu migas melalui visi 2030 yaitu produksi minyak 1 juta barel dan gas sebesar 12 BSCFD belumlah mencukupi kebutuhan migas nasional. Namun, dengan peningkatan produksi migas dari posisi saat ini, maka dinilai dapat mengurangi gap dan memberikan peningkatan penerimaan negara yang dapat dipergunakan untuk modal dalam pembangunan Indonesia.

“Karena hulu migas masih memiliki potensi dan membutuhkan insentif, yang jika ditarik garis lurus keberadaan insentif memberikan dampak positif bagi peningkatan cadangan, produksi dan penerimaan negara, maka dengan semakin membaiknya harga minyak dunia saat ini adalah kesempatan untuk duduk bersama, mendiskusikan insentif yang tepat untuk mendongkrak kinerja industri hulu migas”, pungkas Dwi.

Selanjutnya: SKK Migas resmikan proyek West Betara NAG di Blok Jabung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .