KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkap bahwa penyerapan dari penyesuaian tarif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) paling tidak optimal di sektor kelistrikan. Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Rayendra Sidik menyebutkan, HGBT di sektor kelistrikan berakibat ketidakcukupan dana pemerintah untuk menanggung selisih harga.
Baca Juga: Soal Nasib Keberlanjutan HGBT, Ini Kata SKK Migas "Jadi yang paling banyak ketidakcukupan bagian negara itu ada di kelistrikan. Terutama yang dari LNG (Liquified Natural Gas) ya," ungkapnya saat ditemui Kontan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (28/3). Rayendra menjelaskan, kontrak original pembelian LNG antara PT PLN (Persero) dengan Kilang LNG Tangguh menggunakan harga yang mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Namun dengan program HGBT, PLN mendapatkan pasokan LNG dengan harga terbaik. Meski begitu pada pertengahan tahun, Rayendra mengatakan terjadi lonjakan pada harga gas. Kenaikan tersebut mengakibatkan pemerintah kesulitan untuk menjaga harga gas.
Baca Juga: Program Gas Murah Industri Bisa Hambat Investasi Hulu dan Target Net Zero Emission “Untungnya, PLN cukup bekerja sama dengan kami. Kami bilang, ini bagian negara tidak cukup (menanggung selisih). Ya sudah, diganti saja ke harga semula. Akhirnya di situlah, kembali ke harga, formula semula,” katanya. Untuk diketahui, selain sektor listrik, sektor industri yang menerima manfaat HGBT ini adalah 7 sektor industri yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Mengutip portfolio penerima HGBT yang dimiliki Kementerian Perindustrian (Kemenperin), di tahun 2023, industri penerima berjumlah 265 perusahaan dan kelistrikan sebesar 56 perusahaan dengan total penerima sebesar 321 perusahaan.
Baca Juga: Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) Masih Dievaluasi Pemerintah Alokasi gas industri hanya 1222,03 BBTUD sementara kelistrikan sebesar 1231,22 BBTUD. Artinya, masih lebih banyak sektor kelistrikan penerima alokasi HGBT dibandingkan industri. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Taufik Bawazier bahkan sempat mengatakan hanya diberikan 85,31 persen dan terdapat banyak persoalan di lapangan, termasuk biaya surcharge untuk HGBT industri.
Kemenperin juga berpendapat, meski terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan HGBT, nilai positifnya masih lebih banyak dibanding bila program ini tidak dilanjutkan. Kepastian industri mendapatkan gas murah menjadi prioritas.
Baca Juga: Kebijakan Harga Gas Murah Diperluas Sehingga bila memang Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas menyatakan tidak sanggup meneruskan program HGBT, Kemenperin meminta opsi atau plan B untuk dibuka keran impor gas dari negara-negara Teluk dengan harga yang bisa menyentuh US$ 3 per mmbtu untuk kebutuhan kawasan industri dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan substitusi impor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto