KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan hilirisasi nikel dianggap sudah cukup berhasil jika hanya dilihat dari sisi makin menjamurnya fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Namun, di belakang itu masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk menjaga industri ini bertahan dalam jangka panjang. Pengusaha meminta agar ketersediaan bahan baku dan industrialisasi lebih diperhatikan. Direktur Utama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus menyatakan semangat hilirisasi khususnya komoditas nikel sejatinya saat ini sudah terwujud. Pertumbuhan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral sudah semakin banyak. Bahkan Barus mengatakan, smelter nikel saat ini sudah telampau menjamur. Hal ini menyebabkan permintaan bijih nikel semakin tinggi tetapi tidak diikuti dengan pasokan yang memadai dari dalam negeri.
Baca Juga: Soal Kebijakan dan Tata Kelola Komoditas Mineral Kritis, Kadin Minta Diperjelas “Permintaan bijih nikel itu sudah hampir 140 juta metrik ton (MT) per tahun, padahal suplai normal mungkin 100 juta MT. Jadi sekarang ini harga nikel begitu tinggi, jadi masalah para smelter. Satu sama lain saling berebut bahan baku,” ujarnya saat ditemui di Gedung Menara Kompas, Selasa (3/10). Namun sayang, di saat permintaan melonjak, beberapa waktu belakangan ini pasokan bijih nikel ke sejumlah smelter melambat karena sejumlah kejadian. Pertama, diberantasnya pertambangan nikel ilegal oleh pemerintah. Kedua, pasca-kejadian ditangkapnya pegawai Kementerian ESDM terkait penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), sejumlah pihak jadi khawatir untuk menerbitkan RKAB baru. “Akibatnya orang takut menerbitkan RKAB baru, selama 3 bulan ini jadi short supply. Sehingga harga menjadi naik karena smelter tidak boleh berhenti. Kalau berhenti mahal sekali untuk menghidupkannya,” ungkapnya. Alhasil, sejumlah smelter dikabarkan membeli bijih nikelnya dari luar negeri alias impor. Berdasarkan kabar yang diketahuinya, masih ada satu hingga dua kapal yang membawa bijih nikel ke dalam negeri. Barus menegaskan, impor bijih nikel tidak melanggar aturan apapun sehingga sah-sah saja dilakukan. Ada dua pertimbangan pengusaha memutuskan untuk mengimpor bahan baku. Pertimbangan pertama ialah bijih nikel dari luar negeri harganya lebih kompetitif. Pertimbangan kedua, spesifikasi nikel untuk blending yang dibutuhkan smelter hanya tersedia dari luar negeri. “Untuk membuat Feronikel atau Nickel Pig Iron (NPI) ada rasio silicon magensium harus di bawah 2. Namun karena menambangnya banyak, jadi rasio silicon magensium di atas 2. Jadi biasanya akan diimpor bijih nikel yang sesuai kebutuhan untuk blending,” jelasnya.
Baca Juga: Investor Baru di Smelter Bauksit Sepi Peminat Meski semakin banyaknya smelter nikel ini bisa dianggap sebagai keberhasilan, Barus mengingatkan agar pemerintah juga mengontrolnya pertumbuhannya supaya industri ini bisa tumbuh berkelanjutan jangka panjang.
Dia bilang, kebijakan hilirisasi nikel sudah berhasil hanya tinggal tindak lanjut untuk diterjemahkan ke industrialisasi saja. Sebagai gambaran, saat ini smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang memproduksi NPI dan Ferronickel sudah sangat banyak. Namun, pabrik yang memproses dua produk tersebut menjadi stainless steel (besi nirkarat) belum banyak. Ditambah pula, fasilitas pengolahan lebih hilir dari besi nirkarat sebagai ajang industrialisasi juga belum menjadi perhatian. “Stainles steel banyak sekali industri hilirnya. Itulah pemerintah sekarang terutama Kementerian Perindustrian bisa membuat kebijakan dan Kementerian Keuangan memberikan insentif bagaimana agar tumbuh industri di dalam negeri. Menggunakan hasil proses hilirisasi, khusus di nikel ini,” jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi