JAKARTA. Cadangan batubara di dunia memang tergolong besar. Tapi, fluktuasi harga komoditas peninggalan jaman purba ini memaksa para pelaku bisnis batubara putar otak jika ingin bisnisnya langgeng. PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT) misalnya. Meski masih dalam tahap kajian, tapi manajemen mengaku sangat tertarik untuk menggarap bisnis pengolahan batubara menjadi gas metan. "Soalnya, gas metan memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang batubara itu sendiri," jelas Achmad Hawadi, Direktur SMMT, Senin (3/6). Menurutnya, pengolahan batubara menghasilkan ekses berupa gas metan. Jika diolah, maka hasil pengolahan ini bisa menjadi campuran bahan bakar minyak (BBM) yang tentunya memiliki nilai tambah dibanding hanya mengolah batubara saja. "Tapi ini masih dalam kajian secara mendalam. Soalnya, di Indonesia belum ada institusi yang khusus menampung bisnis energi alternatif seperti ini. Makanya, kami butuh pembenahan di sana sini, dan yang jelas ini rencana jangka panjang kami," jelas Achmad. Sayang, lantaran masih dalam tahap kajian, manajemen belum bisa merinci nilai investasi dan target kinerja bisnis energi alternatif ini ke depannya seperti apa. Namun, Achmad menggambarkan, sekitar 2 juta - 4 juta ton bisa menghasilkan satu liter gas metan. Terlihat sedikit memang, tapi satu liter gas metan dibanderol dengan harga US$ 800. Bandingkan dengan harga batubara yang hanya sekitar US$ 85,33 per ton pada Mei lalu. Perusahaan batubara di Indonesia juga belum ada yang memiliki mesin konversi barubara menjadi gas metan. Tapi jika dibandingkan dengan Jerman yang pabriknya banyak memanfaatkan limbah batubara, maka mesin konversi tersebut jika dirupiahkan bisa mencapai Rp 6 triliun. "Investasinya memang besar, tapi potensi di balik ini juga baik. Ini juga merupakan upaya kami untuk mewujudkan sinergi bisnis perusahaan," pungkas Achmad.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
SMMT tertarik menggarap bisnis gas metan
JAKARTA. Cadangan batubara di dunia memang tergolong besar. Tapi, fluktuasi harga komoditas peninggalan jaman purba ini memaksa para pelaku bisnis batubara putar otak jika ingin bisnisnya langgeng. PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT) misalnya. Meski masih dalam tahap kajian, tapi manajemen mengaku sangat tertarik untuk menggarap bisnis pengolahan batubara menjadi gas metan. "Soalnya, gas metan memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang batubara itu sendiri," jelas Achmad Hawadi, Direktur SMMT, Senin (3/6). Menurutnya, pengolahan batubara menghasilkan ekses berupa gas metan. Jika diolah, maka hasil pengolahan ini bisa menjadi campuran bahan bakar minyak (BBM) yang tentunya memiliki nilai tambah dibanding hanya mengolah batubara saja. "Tapi ini masih dalam kajian secara mendalam. Soalnya, di Indonesia belum ada institusi yang khusus menampung bisnis energi alternatif seperti ini. Makanya, kami butuh pembenahan di sana sini, dan yang jelas ini rencana jangka panjang kami," jelas Achmad. Sayang, lantaran masih dalam tahap kajian, manajemen belum bisa merinci nilai investasi dan target kinerja bisnis energi alternatif ini ke depannya seperti apa. Namun, Achmad menggambarkan, sekitar 2 juta - 4 juta ton bisa menghasilkan satu liter gas metan. Terlihat sedikit memang, tapi satu liter gas metan dibanderol dengan harga US$ 800. Bandingkan dengan harga batubara yang hanya sekitar US$ 85,33 per ton pada Mei lalu. Perusahaan batubara di Indonesia juga belum ada yang memiliki mesin konversi barubara menjadi gas metan. Tapi jika dibandingkan dengan Jerman yang pabriknya banyak memanfaatkan limbah batubara, maka mesin konversi tersebut jika dirupiahkan bisa mencapai Rp 6 triliun. "Investasinya memang besar, tapi potensi di balik ini juga baik. Ini juga merupakan upaya kami untuk mewujudkan sinergi bisnis perusahaan," pungkas Achmad.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News