SMRA terseret lesunya pasar properti



KONTAN.CO.ID - Industri properti yang masih lesu membuat pencapaian pendapatan pra penjualan PT Summarecon Agung (SMRA) terus menurun. Namun, analis memperkirakan kinerja akan mulai membaik tahun depan.

Per Juli 2017, marketing sales SMRA tercatat Rp 1,54 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di 2016, terjadi penurunan sebanyak 20,22%. Analis Samuel Sekuritas Akhmad Nurcahyadi, dalam risetnya per 28 Agustus, menyebut, penurunan pendapatan pra penjualan perusahaan ini sudah terjadi sejak 2016 lalu. Bahkan pada Juli 2016, marketing sales perusahaan juga anjlok 26,58% ketimbang Juli 2015.

Rendahnya pendapatan pra penjualan membuat perusahaan ini memangkas target marketing sales dari Rp 4,5 triliun menjadi Rp 3,8 triliun. "Kemampuan merealisasikan back log dan penurunan target pre sales menjadi dua sentimen negatif saham SMRA," kata Akhmad.


Analis Kresna Sekuritas Filbert Anson mengatakan, kinerja pra penjualan SMRA kurang bergeliat lantaran sejak awal tahun pasar properti lemah. Peluang perbaikan bisa terjadi mengingat pada semester dua ini SMRA rajin meluncurkan produk baru.

Selain pencapaian pra penjualan yang memburuk, kinerja SMRA pun belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Filbert mencatat, meski pendapatan tumbuh, SMRA malah mencatat penurunan margin laba.

Tercatat pendapatan SMRA terkerek 14,5% secara yoy di periode kuartal II 2017. Namun, emiten properti ini mencatat margin laba kotor terkikis sekitar 0,3% . Bahkan pada periode AprilJuni 2017, SMRA catatkan rugi bersih sebesar Rp 26 miliar. "Pendapatan memang naik, tetapi margin malah berkurang," kata Filbert, Rabu (30/8).

Margin SMRA berkurang lantaran porsi pendapatan dari penjualan apartemen membesar. Padahal, marginnya lebih mini ketimbang penjualan rumah tapak. Selain itu, gross margin dari setiap produk juga menurun. "Apalagi saat ini pengembang tidak bisa menaikkan harga jual properti karena pasar sedang lesu," imbuh Filbert.

Potensi semester II

Untuk tahun depan, Filbert optimistis kinerja SMRA lebih positif. Katalis positif datang dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih di kisaran 5%, serta penurunan suku bunga Bank Indonesia yang turut memangkas bunga kredit pemilikan rumah (KPR).

Tambah lagi, SMRA memiliki landbank besar di Makassar seluas 340 hektare (ha) dan di Bogor seluas 404 ha yang belum dikembangkan. "Landbank ini akan menjadi potensi pertumbuhan yang besar ke depannya, terutama jika pasar properti sudah membaik," ungkap Filbert.

Perusahaan juga perlu memperhatikan beberapa hal agar katalis negatif tidak menekan kinerja. Seperti mulai mengurangi ekspansi melalui akuisisi tanah. "Karena rasio debt to equity yang terus naik sampai mendekati 1, perusahaan telah mengurangi pembelian tanah," ungkap Filbert. Selain itu, jika penjualan tidak membaik, margin bisa terus tergerus dan menyebabkan laba bersih terus mengecil.

Kinerja kuartal II 2017 yang memburuk ternyata membuat harga saham SMRA terus turun. Hal ini juga mencerminkan ekspektasi investor yang sangat rendah. "Pre sales pada semester II 2017 kami perkirakan lebih baik dari semester I dan ini bisa menjadi katalis untuk kenaikan harga saham SMRA," kata Filbert.

Karena itu Filbert menilai valuasi SMRA masih menarik di harga saat ini. Kemarin (30/8), saham SMRA ditutup di harga Rp 1.055 per saham.

Hingga akhir tahun, Filbert memprediksi pendapatan SMRA bisa mencapai Rp 5,89 triliun. Sementara laba bersih bisa mencapai Rp 398 miliar.

Sementara, Analis Bahana Sekuritas Renaldy Effendy menargetkan pendapatan perusahaan properti ini di akhir tahun bisa mencapai Rp 5,51 triliun, dengan keuntungan bersih Rp 311 miliar.

Karena itu, Renaldy masih merekomendasikan buy saham SMRA dengan target harga Rp 1.570 per saham. Filbert juga memberi rekomendasi beli untuk saham SMRA dengan target harga Rp 1.500 per saham. Sementara Akhmad merekomendasikan hold SMRA di harga Rp 1.110 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie