KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita minta bantuan importir Amerika Serikat (AS) untuk menghadapi peninjauan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) serta kenaikan tarif baja dan alumunium. Pencabutan GSP dan penaikan tarif dinilai akan ikut berpengaruh bagi industri AS. Hal itu akan membuat daya saing produk hasil industri AS akan melemah. "Biaya produksi mereka akan meningkat, bahkan pasokan untuk proses produksi dapat terganggu," ujar Enggar dalam siaran pers, Selasa (24/7). Produk baja Indonesia diakui memilik kualitas yang baik sehingga diminati oleh industri di AS. Namun kenaikan bea masuk membuat harga produk baja Indonesia tidak lagi kompetitif.
Keputusan pengenaan tarif impor sebesar 25% untuk produk baja dan 10% untuk produk aluminium telah ditandatangani Presiden AS Donald Trump pada 18 Maret 2018 lalu. Padahal, menurut Enggar, produk baja dan aluminium dari Indonesia tidak menjadi kompetitor secara langsung bagi industri dalam negeri AS. Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada tahun 2017 tercatat sebesar US$ 112,7 juta. Angka tersebut hanya sebesar 0,3% pangsa pasar AS. Nilai ini disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan countervailing duty yang telah berlangsung cukup lama. Sementara ekspor aluminium tahun 2017 ke AS tercatat sebesar US$ 212 juta dan pangsa pasar 1,2%. Pasar AS merupakan pasar yang penting bagi baja dan alumunium Indonesia. Nilai ekspor tersebut berkontribusi terhadap 50% ekspor aluminium Indonesia ke dunia. Tidak hanya pengenaan bea masuk yang tinggi, ketidakpastian GSP juga menjadi hambatan bagi importir AS. Enggar bilang, GSP memberikan manfaat besar bagi ekspor Indonesia maupun industri dalam negeri AS. "Tanpa skema GSP, maka harga produk akan naik dan daya saing akan terganggu," terang Enggar.