Soal Harta Kekayaan Eks Pegawai Pajak Hingga Rp 56 Miliar, Begini Kata Pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berawal dari kasus penganiayaan yang dilakukan sang anak. Kini merembet ke harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo (RAT), eks pegawai Ditjen Pajak yang dinilai tidak wajar.

Dari berita KONTAN sebelumnya, terakhir menjabat sebagai Kepala Bagian Umum di Kanwil DJP Jakarta II, hingga akhirnya ia dicopot dari jabatan, Rafael memiliki harta kekayaan mencapai Rp 56,1 miliar. Harta kekayaan yang fantastis ini juga menjadi pertanyaan publik, sebab jabatannya hanya setara eselon III.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, mengenai kasus pamer harta, potensi pengulangan akan terus ada dengan berbagai variasinya. Untuk kasus oknum PNS pajak dengan harta mewah, kondisi ini tidak terlepas dari warisan masa lalu ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum mereformasi diri dari sisi remunerasi.


Baca Juga: Pemerintah Diminta Perketat Sistem Pengawasan ASN Ditjen Pajak

Meskipun saat ini Prianto menyebut, sudah ada perbaikan remunerasi dan tunjangan kinerja PNS pajak yakni sudah paling tinggi di antaran PNS lainnya, pemupukan harta dengan cara melawan hukum bagi oknum pegawai pajak masih berpotensi akan berulang.

"Pasalnya, ada hubungan mutualisme ketika Wajib Pajak sudah “kepepet” dengan utang pajak yang begitu material. Pada akhirnya, muncul kondisi seperti ungkapan bahasa Jawa “ono rego ono rupo”* (ada harga, ada rupa) atau “wani piro”* (berani berapa)," jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (26/2).

Atas hal kondisi tersebut maka, Prianto menjelaskan perilaku koruptif pegawai pajak dapat hadir. Di mana kejahatan bukan semata-mata karena ada niat, tetapi juga karena ada kesempatan.

Lantas perlukah revolusi mental di tubuh PNS pajak? Prianto menilai, revolusi mental sudah dicanangkan oleh pemerintahan sekarang. Menurutnya, revolusi mental juga sudah termuat dalam reformasi pajak yang saat ini sedang berlangsung.

"Revolusi mental sudah dicanangkan oleh pemerintahan sekarang ini. DJP pun juga sudah mengejawantahkan revolusi mental tersebut di kebijakan reformasi pajak yang sedang berlangsung saat ini," imbuhnya.

Yang kini perlu dilakukan ialah, menelusuri asal muasal harta Rp 56 miliar tersebut. Maka para penegak hukum harus mampu melakukan asset tracing untuk memastikan harta tersebut dari mana.

Ia menegaskan perlunya asset tracing untuk mengetahui apakah penghasilan tersebut didapatkan sebagai petugas pajak saja, atau penghasilan dari usaha pribadi dan/atau keluarga, penghasilan dari warisan keluarga, penghasilan lainnya yang sumbernya tidak melawan hukum, atau penghasilan lainnya yang sumbernya melawan hukum.

"Kita tidak bisa langsung memberikan judgment bahwa harta Rp 56 miliar berasal dari korupsi petugas pajak tersebut tanpa bukti kuat," kata Prianto.

Hal senada juga disampaikan Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Pemerintah perlu membuka kasus RAT dengan transparan. Penelusuran harta kekayaan yang dimiliki pun harus dilakukan.

"Buka kasus RAT dengan transparan. Dan jangan terlalu berlarut-larut. Apakah benar, harta RAT dari hasil yang sah, bisa saja karena warisan atau pendapatan lain (karena istrinya pengusaha), atau korupsi? Kalau hasil korupsi, modusnya apa? Lalu tutup peluang untuk modus tersebut, dibuat pencegahan," jelasnya.

Kemudian hasil tersebut, perlu juga dikomunikasikan ke publik. Meski demikian, kasus RAT dinilainya tak berarti mencerminkan keseluruhan DJP. Ia menilai revolusi mental pegawai pajak juga tidak diperlukan. Langkah saat ini ialah bagaimana DJP mampu mengejar target pajak yang sudah dicanangkan di tahun 2023.

"(Revolusi mental) Tidak perlu, RAT tak mencerminkan keseluruhan DJP. Buang-buang waktu saja menurut saya. Lebih baik fokus kejar target penerimaan tahun 2023. Mengingat tantangan yang lebih besar di 2023 ini," paparnya.

Baca Juga: Beredar Foto Dirjen Pajak Suryo Utomo Pakai Moge, Sri Mulyani Minta Penjelasan

Ia mengatakan, jika dibandingkan masa lalu, reformasi pajak yang telah berjalan sudah berbeda. Hal tersebut menurutnya, terlihat dari pelayanan di DJP dengan K/L Lain.

"Kalau punya data, bandingkan ratio pegawai yang terjerat kasus korupsi antara Kemenkeu dengan K/L lain. Namanya korupsi, pasti ada risikonya, pasti ada satu-dua yang nakal," ungkap Fajry.

Ia menegaskan, agar apa yang kini menjadi sangkaan publik terhadap RAT tak men-generalisir penilaian kepada DJP. Kembali asset tracing harus dilakukan untuk memperjelas asal muasal harta tersebut.

"Bisa sekali-kali ke kantor pusat DJP, bisa lihat langsung gaya hidup mereka di sana seperti apa? Banyak yang cuma bawa motor bebek atau matic, ada juga yang naik angkot. Saya mohon untuk tidak digeneralisir pegawai DJP seperti pak RAT. Kasihan mereka, saya yakin hampir seluruhnya malah yang jujur-jujur, dan ketika digeneralisir mental mereka down," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .