Soal interkoneksi, Kominfo diminta taat aturan



JAKARTA. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) diminta untuk taat pada aturan dalam revisi biaya interkoneksi agar memberikan kepastian hukum bagi semua pelaku usaha.   Hal itu diungkapkan Presiden Mahasiswa BEM Kema Telkom University Muhammad Ghazali Suwardi. Menurutnya, Kemenkominfo tidak ikut dalam opini yang beredar di media massa dan menambah kegaduhan.

“Fokus saja pada tugas yakni membina, mengawasi, dan melindungi pelaku usaha serta menegakkan aturan," kata Ghazali, Selasa (13/9).

Jika merunut pada Pasal 25 UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib untuk menyediakan (apabila diminta) dan berhak untuk mendapatkan interkoneksi.


Kondisi saat ini, seluruh operator (penyedia layanan telepon dasar) telah saling berinterkoneksi satu sama lain. Bertahun-tahun tidak pernah terdengar ada operator yang menghambat atau terhambat dalam pelaksanaan interkoneksi.

Artinya, jika ada yang berpendapat tujuan penurunan biaya interkoneksi untuk menghilangkan hambatan dalam pelaksanaan interkoneksi, jelas tidak tepat.

Dalam pasal tersebut justru terdapat prinsip dasar dalam berinterkoneksi yang tidak boleh dilanggar, yaitu tidak saling merugikan. Karena biaya interkoneksi merupakan jaminan terhadap pengembalian investasi operator. Itu jelas disebutkan dalam Pasal 16 UU 36/1999.

 Ketentuan mengenai interkoneksi juga diatur dalam Bagian IV-VII PP 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Pasal 22 dan 23 PP tersebut mensyaratkan kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan, dan biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

Selanjutnya dalam Pasal 37 PP tersebut dijelaskan bahwa besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan formula, dan penetapan formula berdasarkan biaya (cost based).

Apabila ditarik satu garis lurus yang menghubungkan seluruh ketentuan tanpa kecuali, maka metode yang seharusnya ditetapkan pemerintah adalah berdasarkan biaya operator masing-masing, yang secara umum dikenal dengan istilah asimetris.

Pemerintah sendiri sejak awal proses perhitungan ulang biaya interkoneksi di tahun 2015 berencana melakukan perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator. Pemerintah juga telah memperoleh kesepakatan dari tiap-tiap operator dan telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tiap-tiap operator.

"Sekarang isu berubah ke penurunan biaya interkoneksi adalah kebijakan pro rakyat dan akan menurunkan tarif ke pelanggan 30%. Padahal secara akademis penurunan biaya interkoneksi hanya 2-4% dari tarif ke pelanggan. Apabila memang berencana menurunkan tarif ke pelanggan, maka seharusnya pemerintah lebih mengutamakan pengaturan tarif pungut (retail)," katanya.

Dengan melihat perhitungan biaya interkoneksi berdasarkan biaya operator masing-masing (asimetris) justru lebih menguntungkan pelanggan.

Dari hasil RDPU Komisi I DPR RI dengan para operator, diketahui biaya interkoneksi Telkomsel Rp 285, Tri Rp 120, Smatfren Rp 100, Indosat Ooredoo Rp 86, dan XL Axiata Rp 65 per menit.

Apabila menggunakan angka pemerintah, maka total biaya jaringan untuk percakapan lintas operator (interkoneksi) adalah Rp 408. Namun jika metode asimetris yang digunakan, total biaya jaringan untuk percakapan dari Telkomsel ke XL Axiata (atau sebaliknya) hanya Rp 350, lebih murah Rp 58.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan