KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan untuk mengelola tambang memicu pro dan kontra di masyarakat. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, dinilai rentan digugat oleh berbagai elemen masyarakat. Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Minerba, Arya Rizqi Darsono, menjelaskan bahwa meski niat pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat melalui izin tambang bagi Ormas Keagamaan itu baik.
"PP 25/2024 perlu dicermati dengan baik, bukan Ormas Keagamaan yang diberikan tapi melalui badan usaha yang didirikan oleh Ormas, di mana Badan Usaha harus tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas," kata Arya kepada KONTAN, Minggu (9/6).
Baca Juga: Pemerintah Fasilitasi Ormas Keagamaan Cari Kontraktor Tambang Arya menambahkan bahwa perlu ada penyempurnaan terhadap UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, terutama pada Pasal 75 yang mengutamakan BUMN dan BUMD dalam mendapatkan IUPK. Jika BUMN dan BUMD tidak berminat, barulah tawaran tersebut dapat dilelang kepada pihak swasta. Pasal 78 ayat (2) menyebutkan bahwa IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta. Sedangkan Pasal 78 ayat (3) menegaskan BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Arya menyatakan bahwa UU adalah produk legislatif yang pelaksanaannya berada di tangan pemerintah. Pemerintah harus mengacu pada UU saat menerbitkan PP, namun masih terdapat ketidaksempurnaan dalam PP 25 Tahun 2020 yang perlu diperbaiki. "Perlu dilakukan revisi UU apabila PP akan dijalankan. Bisa dilakukan revisi pengajuan oleh DPR atau pemerintah. Atau Presiden menerbitkan Perpu dengan mekanisme yang ada," ujar Arya. Arya mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini bisa menimbulkan implikasi hukum yang rentan terhadap gugatan. Meskipun Kadin menyambut positif adanya WIUPK yang eks PK2B bisa dikerjakan, sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara melalui royalti serta menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, perangkat hukum perlu lebih sempurna. "Semangatnya baik tetapi perlu pemerintah mencermati masih ada kekurangan ketidaksempurnaan di dalam perangkat per uu. PP secara hierarki di bawah UU," tutur Arya. Di sisi lain, sebuah petisi muncul menuntut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk mengelola energi baru terbarukan daripada tambang batubara.
Baca Juga: Ormas Keagamaan Punya Sikap Berbeda Soal Rencana Pengelolaan Tambang Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menyebut bahwa PP 25 Tahun 2024 dan sejumlah regulasi sebelumnya yang memudahkan pelaku bisnis, mencerminkan arogansi Presiden Jokowi.
"Seluruh produk hukum/kebijakan tersebut berlangsung tanpa partisipasi publik sejati, sebaliknya secara sengaja abai," kata Melky kepada KONTAN, Minggu (9/6). Melky menambahkan bahwa proses tersebut sarat dengan korupsi politik, di mana kekuasaan politik yang dimiliki disalahgunakan untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. JATAM mendesak Ormas Keagamaan untuk menolak pemberian konsesi tambang dari Presiden Jokowi secara tegas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .