KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) menyambut baik penetapan komoditas tambang pasir kuarsa sebagai mineral kritis melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 296.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong Dalam Klasifikasi Mineral Kritis pada 14 September 2023. Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari menyatakan, pengklasifikasian ini menandakan, betapa strategisnya komoditas pasir kuarsa bagi kepentingan industri di dalam negeri, perekonomian, pertahanan dan keamanan nasional. “Sehingga harus ditetapkan sebagai mineral kritis yang sulit ditemukan penggantinya yang layak,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (25/9).
Karena itu, kata Ady, semua pihak baik pemerintah maupun swasta harus mulai mengubah pemikiran dalam memandang komoditas pasir kuarsa ini, yakni menyesuaikan dengan fundamental mineral kritis secara komprehensif, bahkan urgensinya dalam konteks geopolitik.
Baca Juga: Pemerintah Terbitkan Aturan Klasifikasi Mineral Kritis, Berikut Daftar Lengkapnya Para pemangku kewenangan dapat menjadikan klasifikasi ini sebagai acuan pertimbangan dalam tata kelola sumber daya mineral, misalnya dalam penentuan kebijakan fiskal tertentu, penetapan formula harga acuan atau harga patokan, prioritas kebutuhan di dalam negeri, penerbitan perizinan berusaha, serta peningkatan penyelidikan dan penelitian. Khusus mengenai klasifikasi mineral kritis sebagai acuan dalam mempertimbangkan penerbitan perizinan berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara, Ady menyebut hal ini memiliki konsekuensi setidaknya dua hal. Pertama, terbukanya peluang untuk mengintegrasikan sistem penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral kritis seluruh Indonesia, yang dikelola oleh pemerintah pusat. Kedua, masuknya aspek-aspek tambahan dalam penerbitan IUP. Misalnya wilayah potensial namun belum layak secara ekonomi hari ini tetap dapat diakomodir dalam perizinan karena pemerintah menimbang faktor lain seperti urgensi pertahanan dan keamanan negara, serta kebutuhan ekonomi nasional secara lebih luas di masa depan, dan sewaktu-waktu dibutuhkan. Jadi yang belum masuk kajian kelayakan hari ini, tambah Ady, harus tetap dapat diakomodir dalam perizinan selama diduga masih ada potensi karena bisa saja menjadi layak di masa depan karena pertimbangan-pertimbangan tadi. Selanjutnya, hal yang juga tak kalah penting dari klasifikasi mineral kritis ini adalah menjadi pertimbangan dalam upaya peningkatan penyelidikan dan penelitian di mana adanya peningkatan kewajiban bagi pemegang IUP untuk melakukan eksplorasi lanjutan. Hal ini menjadi sangat wajar bagi negara untuk betul-betul mengetahui potensi sumber daya dan cadangan mineral kritis ini. Untuk itu, sebagai konsekuensi adanya peningkatan kewajiban ini, negara harus menjamin ruang-ruang eksplorasi bagi pemegang IUP lebih mendalam dan menyeluruh secara terus-menerus sepanjang kegiatan pertambangan mereka, termasuk pada daerah-daerah yang belum terdata dengan baik saat ini.
Baca Juga: BKPM Siapkan Roadmap Hilirisasi Pasir Kuarsa “Singkatnya, porsi eksplorasi dalam komoditas mineral kritis ini harus diperluas karena ini juga menjadi kepentingan negara dan rakyat jangka panjang. Terkait masalah pengawasan kegiatan ini tentunya pemerintah sudah punya instrumennya, termasuk regulasi yang ketat dalam pelaporan rutin yang wajib dilakukan oleh pelaku usaha beserta sanksinya yang jelas,” jelasnya. Pengawasan ini juga tentunya tidak hanya melekat pada instansi yang membidangi sektor pertambangan, tetapi juga lingkungan hidup dan tata ruang. Semua punya aturan mainnya masing-masing. Belum lagi dari BKPM yang juga ikut mengawasi dalam bentuk pelaporan berkala badan usaha. “Jadi penetapan pasir kuarsa ini sebagai mineral kritis kita respon secara positif. Karena dengan penetapan ini, tata kelolanya bisa lebih baik dan tentunya sudah sangat banyak mata dan telinga yang mengawasi,” tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .