KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan mengatakan pembentukan holding BUMN Karya perlu kejelasan terutama dari sisi lini bisnis yang bakal dijalankan. Dia membeberkan sejumlah terkait rencana pemerintah ini. Pertama, model konsolidasi yang dilakukan bersifat jangka pendek yaitu menempelkan BUMN yang sakit seperti PT Waskita Karya dengan PT Hutama Karya, dan PT Wijaya Karya dengan PT Pembangunan Perumahan (PTPP). Berbeda kasus antara PT Adhi Karya dan PT Brantas Abipraya. “Ini kan sama saja ingin berbagi penderitaan, seperti dialami oleh Waskita Karya dan Wijaya Karya kepada Hutama Karya dan PTPP,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (12/7).
Baca Juga: Soal Merger BUMN Karya, Adhi Karya Tengah Susun Kajian Bersama Perusahaan Lainnya Herry mengungkapkan, berdasarkan laporan keuangan, Waskita telah lima tahun berturut-turut mengalami rugi, sementara Wijaya Karya selama dua tahun juga mengalami rugi. Kedua, BUMN yang relatif sehat kinerja keuangannya berpotensi terseret bahkan menjadi sakit, karena akan menggendong BUMN yang sakit. “Sebagai contoh kalau dikonsolidasikan, proyek yang menguntungkan, sangat mungkin diserahkan ke BUMN yang sakit untuk menopang kinerja keuangannya. Akibatnya, BUMN yang sehat, yakni yang menggendong seperti Hutama Karya dan PTPP, harus mengalah,” terangnya. Ketiga, pada akhirnya yang terkena beban adalah APBN, yang harus menambal dengan PMN. Sekarang saja sudah terus-terusan modalnya ditambal oleh pemerintah. Keempat, reputasi BUMN karya yang kinerjanya biru, harus menghadapi risiko reputasi lantaran digabung dengan BUMN sakit. “Bayangkan, kalau Hutama Karya dan PTPP menerbitkan obligasi misalnya. Karena kedua perusahaan itu menggendong BUMN yang sedang sakit dari sisi keuangan, risiko obligasinya akan tinggi, sehingga terkompensasi pada suku bunga yang mahal,” imbuhnya. Kelima, ada potensi moral hazard, pemerintah terlalu cepat ambil keputusan konsolidasi, tanpa pernah menyampaikan hasil audit terhadap kinerja manajemen baik Komisaris dan Direksi dari BUMN yang bermasalah. Menurutnya, ini nihil pertanggungjawaban. “Pentingnya audit tersebut agar tidak nyebur ke kubangan yang sama di kemudian hari,” tandasnya.
Baca Juga: Kementerian PUPR Belum Terima Konsep Merger BUMN Karya Lebih lanjut, Herry menambahkan, sebagai solusi, pembentukan holding ini harus jelas di sisi lini bisnis yang bakal dijalankan. Misalnya, organisasi holding nanti dibagi berdasarkan segmen usaha. Contohnya seperti Pertamina atau berdasarkan wilayah kerja seperti Pupuk Indonesia dan Semen Indonesia.
“Skenario ini dulu yang sejatinya harus dibuat, baru kemudian dibuat penugasan pada BUMN karya yang ada, yakni yang akan masuk dalam holding,” tuturnya. Dia bilang, tanpa adanya kejelasan seperti itu, bisnis bisnis yang dijalankan akan tetap tumpang-tindih, di mana menunjukkan bisnis yang tidak sehat. “Dua BUMN akan bertarung di lini bisnis yang sama, misalnya properti. Dan semua akan minta jatah dari proyek APBN yang dilaksanakan oleh Kementerian seperti PUPR. Tapi lini bisnisnya sama. Ini pun lucu. Menurut saya, skenario konsolidasi BUMN karya seperti yang sudah terungkap di banyak media, sulit menyelesaikan persoalan yang dihadapi saat ini,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi