KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik mengenai dugaan transaksi janggal yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi alarm pemerintah harus melakukan pembenahan. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, adanya perbedaan pernyataan mengenai jumlah transaksi janggal menandakan perlu adanya rapat antara PPATK, Ketua Komite TPPU dan Kementerian Keuangan bersama DPR. Hal tersebut guna menyamakan data mengenai dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan. "Hal yang lumrah, kalau tidak kisruh maka tidak akan terungkap. Pemerintah harus berbenah untuk bersih-bersih. Sangat perlu di temukan (PPATK, Ketua Komite TPPU dan Menteri Keuangan) karena untuk menyamakan data," kata Boyamin kepada Kontan.co.id, Kamis (30/3).
Ia mengatakan, jika dugaan transaksi janggal tersebut terbukti maka hanya KPK yang dapat melakukan investigasi. Sedangkan pemerintah dapat meminta KPK untuk memproses secara cepat. "(Yang bisa investigasi)Hanya KPK, dan pemerintah meminta KPK prosesnya dengan cepat. (Bisa insiatif KPK atau pemerintah melaporkan) Keduanya sama aja, KPK bisa inisiatif," imbuhnya.
Baca Juga: PPATK Sebut Ada Perusahaan Cangkang yang Digunakan dalam Dugaan TPPU di Kemenkeu Sebagai informasi, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD konsisten menyebut bahwa dugaan TPPU yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agregat dari 2009-2023 ialah Rp 349,87 triliun. Hal tersebut konsisten disampaikan Mahfud saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Rabu (29/3) malam. "Data ini clear valid, tinggal pertemukan saja dengan Bu Sri Mulyani," kata Mahfud, Rabu (29/3). Ia menyebut, tidak ada perbedaan yang ia sampaikan dengan apa yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Hanya saja Mahfud menyebut, apa yang disampaikan oleh PPATK memberikan data baik dari oknum pegawai Kemenkeu hingga pihak lainnya yang terkait. Sedangkan Menkeu hanya data transaksi janggal yang terkait dengan pegawai di instansinya saja. "Kalau PPATK itu kan rombongan misalnya Rafael itu kan ada rombongannya. Nah ketika di ketika diberikan oleh Bu Sri Mulyani satu yang diambil, sama dengan ini tadi. Jadi ini rombongan. Namanya pencucian uang kalau enggak banyak ya bukan pencucian uang namanya. Kalau satu korupsi, tapi pencucian dibelakang nama itu lo," jelasnya. Mahfud menambahkan ada 491 orang yang terkait dengan transaksi janggal sebesar Rp 349,87 triliun tersebut. Mahfud meminta agar Menkeu dapat diundang dalam rapat bersama Komisi III DPR dan PPATK serta Komite TPPU berikutnya. Hal tersebut untuk mencocokan data yang dipegang baik dari PPATK maupun Kementerian Keuangan. Pada rapat berikutnya diharapkan dapat meluruskan kesalahan tafsir dari Menkeu.
"Bagi saya gampang kok masalah ini undang Bu Sri Mulyani, cocokan, ini datanya PPATK. Hanya beda menafsirkan. Seperti kasus 189 itu. Itu kan 15 entitas, bea cukai, tapi pertama Bu Sri Mulyani ngga tahu. Buktinya tanggal 14 dia baru menjelaskan itu," imbuh Mahfud. Mahfud menegaskan tidak ada data yang berbeda antara PPATK dengan Kementerian Keuangan. Hanya saja terjadi penafsiran yang berada, karena Kemenkeu mengeluarkan pihak yang bukan termasuk dalam pegawai instansinya. Sedangkan menurut PPATK tindak pencucian uang melibatkan beberapa pihak terkait lainnya yang menjadi satu rangkaian.
Baca Juga: Soal Transaksi Janggal di Kemkeu, DPR Akan Pertemukan Mahfud MD, PPATK, Sri Mulyani Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat