KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Meski belum resmi diumumkan hasil dari Pemilihan Presiden (Pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sementara unggul dari paslon lain. Hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei juga menunjukkan Prabowo-Gibran unggul dengan suara lebih dari 50% dan diperkirakan memenangkan satu putaran. Jika nanti data KPU tidak berbeda jauh, Prabowo-Gibran akan menjadi pemimpin baru negara ini. Dan otomatis program atau janji-janji kampanye mereka akan ditagih dan harus dilaksanakan.
Satu program yang dari awal kampanye kerap digembar-gemborkan adalah program bagi-bagi susu gratis. Prabowo pernah mengatakan, susu gratis yang dibagikan berasal langsung dari sapi karena dinilai lebih bagus ketimbang susu kemasan yang telah ditambahkan banyak gula dan pengawet. Permasalahannya, menurut Ketua Umum (Koperasi Peternakan Bandung Selatan) KPBS Pangalengan Aun Gunawan, produksi lokal susu di Indonesia baru mampu memenuhi 20% kebutuhan dalam negeri, sedangkan 80% sisanya ditopang dari susu impor.
Baca Juga: Tahap Awal, Anggaran Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran Sekitar Rp 5 Triliun Nah, guna memenuhi kebutuhan itu, Prabowo juga sempat mengatakan, program bagi-bagi susu gratis harus mengimpor 1,5 juta sapi dari India. “Yang pertama, kebutuhan susu di Indonesia itu kan masih tergantung impor ya. Produk dalam negeri itu baru mampu memenuhi sekitar 20%, berarti sisanya yaitu 80% itu didapat dari impor. Artinya jika ada program dari presiden terpilih sekarang minum susu untuk rakyat Indonesia, dalam artian susu segar, bukan susu kemasan, susu bubuk atau susu kental manis ya otomatis harus ada sapi baru,” jelas Aun saat dihubungi Kontan, Kamis (15/02). Terkait program susu gratis ini, Aun dan anggota KPBS yang lain sebenarnya menyambut positif. Meskipun ia mengakui ada beberapa hal dalam program yang masih kurang jelas dan persyaratan yang harus dipenuhi agar program berhasil. “Artinya untuk kami, para peternak rakyat menyambut positif dengan adanya langkah penambahan sapi ini. Tapi kami masih bingung, bentuknya (program) akan seperti apa ke peternak rakyat ini. Apakah berbentuk bantuan jadi langsung dibagi sapinya? Atau harus beli dengan harga khusus atau bagaimana?” tanyanya. Sebagai peternakan rakyat yang tergabung dalam koperasi, Aun berharap program ini juga menyertakan banyak regulasi-regulasi yang bisa membantu peternak kecil ini. Ia menyebut, jika sapi yang dibeli harus dengan harga utuh, ini justru malah akan memberatkan para peternak. “Misalkan nih, yang saya tahu sapi dari Australia itu harganya sekitar Rp 50 juta, kalau disuruh beli Rp 50 juta itu tidak akan terbeli oleh peternak kecil. Jadi harus ada subsidi, paling tidak 50%, jadi kita beli kemudian bayarnya bisa dicicil 2-3 tahun pakai KUR misalkan,” kata Aun. Jadi skemanya dalam pemberian sapi perah ini harus tetap meringankan para peternak yang merawat. Atau, jika keputusannya adalah membagi sapi dengan gratis, dia ingin pemerintah lebih ketat dalam mendata penerima sapi. “Kalau misalnya mau dibagi gratis, ya bagus aja. Namun kalau namanya gratis kan yang bukan peternak juga mau. Akhirnya yang ditakutkan ada yang tiba-tiba jadi peternak, kemudian mengurus sapinya tidak benar, misalnya,” jelasnya. Selain kebijakan yang masih belum jelas, Aun menyarankan sapi yang diimpor tidak berasal dari India. Tapi dari negara lain yang sudah terbukti kualitas sapi perahnya seperti Australia, New Zealand, atau Amerika. “Yang kedua, yang kami tahu kualitas (sapi) dari India itu kurang baik. Yang kualitasnya terbukti bagus itu dari Australia atau New Zealand, atau Amerika. Itu juga yang masih jadi pertanyaan kami,” tuturnya.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Program Bagi-Bagi Susu, Ganjar-Mahfud Pilih Telur Gratis Berdasarkan pengalamannya, ujar Aun, banyak sapi India yang proses perawatannya tidak seketat di negara Australia atau New Zealand, atau Amerika sehingga otomatis akan mempengaruhi kualitas susu yang diproduksi. “Kalau berdasarkan pengalaman saya, saya juga sempat ke India, itu sapinya tidak di kandang, tidak di dalam kawasan khusus tapi ada yang di jalan raya, dilepas begitu saja, jadi kurang kualitasnya. Tapi saya gak tau, mungkin mereka juga sekarang sudah ada perkembangan teknologi, peternakan khusus, ya mungkin,” tambahnya. Selain tentang kualitas sapi yang diimpor, Aun mengingatkan pemerintah jika ingin serius menggarap program ini harus bisa memastikan adanya lahan untuk pakan atau makan sapi.
“Karena betul kalau hanya sapinya saja tapi pakannya tidak tercukupi, pasti pada mati sapinya. Tidak bisa dipelihara dengan peternak. Jadi ini harus dibarengi dengan kebijakan pemerintah terkait penyediaan lahan untuk menanam rumput atau penghijauan. Disekitar kami, artinya misalkan di kawasan Pangalengan,” ungkapnya. Ia menjabarkan, misalnya di Pangalengan terdapat 1.000 ekor penambahan sapi. Dalam sehari satu sapi kurang lebih butuh rumput sekitar 25 kg rumput, berarti untuk satu wilayah dibutuhkan setidaknya 25 ton rumput per hari untuk makan sapi saja. “Yang mau saya sampaikan kasarnya mah seperti itu, kalau sudah ada sapinya, maka kita harus siap sediakan lahan untuk rumputnya. Karena peternak rakyat, itu kan mereka sebagian besar tidak punya lahan (untuk rumput),” imbuh Aun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat