KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proyek Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCIC) akan mendapatkan suntikan biaya penyertaan modal negara (PMN) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 4,3 triliun. Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Nantinya, APBN akan diberikan dalam bentuk PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang kini menjadi pimpinan BUMN dalam konsorsium proyek kereta cepat.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai lewat adanya perubahan regulasi tersebut, ia melihat bahwa tidak adanya konsistensi maupun komitmen dari kebijakan sebelumnya oleh pemerintah. Sebab, sejak awal proyek itu disepakati, KCIC memang bersifat
business to business. “Tentunya ke depan akan membuat mitra lain khawatir mengenai apa yang sudah diputuskan namun berubah. Saya kira ini menjadi titik kritisnya. Apalagi proyek B2B ini pemerintah tidak ikut campur, ketika pemerintah turut ikut campur maka indikasinya bukan lagi bisnis tapi juga politik,” ujar dia saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (10/10).
Baca Juga: Soroti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, ini catatan MTI Tauhid mengatakan dalam terjadinya pembengkakan biaya sebesar 30% perlu dilakukannya pengkajian terlebih dahulu terutama dalam mengkaji
feasibility study. Dia menilai pengkajian
feasilibity study pada saat itu tidak memperhatikan risiko adanya pembengkakan biaya pada proyek KCIC. “sehingga saya bisa bilang ini tidak layak, kalau bengkak 30% ini akan dikompensasi menjadi tarif, jadi kalau tarif nya bengkak maka perlu adanya yang dibiayai. Ketika tarif meningkat maka perlu dilihat
willingness to pay masyarakat seperti apa, karena kalau moda transportasi lain lebih rendah maka kereta cepat tidak akan layak,” ungkapnya.
Sehingga menurutnya keterlibatan pemerintah dalam membiayai proyek KCIC untuk menekan adanya pengurangan beban biaya oleh konsorsium China. Sehingga apabila terjadi, maka kepemilikan saham akan lebih dominan kepada China Railway International. “Kalau mereka mengambil alih untuk menanggulangi maka sahamnya akan dominan ke China, dan sangat berbahaya,” kata dia. Sementara menurutnya, di luar langkah adanya bantuan APBN untuk proyek tersebut, Tauhid mengungkapkan tentu akan meningkatkan defisit APBN. Sebab sebetulnya ada langkah lain tanpa harus melibatkan APBN yang bersumber melalui utang. Dia pun mengatakan, untuk mengurangi beban biaya itu ia sangat mendorong agar adanya investor lain yang masuk baik itu dari swasta maupun dari BUMN. “Berarti kan nanti tinggal
share aja sahamnya, dibagi. Jadi lebih
visible. Kemudian juga nantinya harus kompensasi dari okupansi dan penumpang ya harus dihitung sampai terlalu tinggi tiketnya,” tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .