KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD konsisten menyebut bahwa dugaan TPPU yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara agregat dari 2009-2023 mencapai Rp349,87 triliun. Hal tersebut disampaikan Mahfud saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Rabu (29/3) malam. "Data ini clear valid, tinggal pertemukan saja dengan Bu Sri Mulyani," kata Mahfud, Rabu (29/3).
Ia menyebut, tidak ada perbedaan yang ia sampaikan dengan apa yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Hanya saja Mahfud menyebut, apa yang disampaikan oleh PPATK memberikan data baik dari oknum pegawai Kemenkeu hingga pihak lainnya yang terkait. Sedangkan Menkeu hanya data transaksi janggal yang terkait dengan pegawai di instansinya saja. "Kalau PPATK itu kan rombongan misalnya Rafael itu kan ada rombongannya. Nah ketika di ketika diberikan oleh Bu Sri Mulyani satu yang diambil, sama dengan ini tadi. Jadi ini rombongan. Namanya pencucian uang kalau enggak banyak ya bukan pencucian uang namanya. Kalau satu korupsi, tapi pencucian di belakang nama itu lo," jelasnya.
Baca Juga: Mahfud MD Konsisten Soal Dugaan TPPU Rp 349 Triliun Libatkan Kemenkeu, Ini Rinciannya Ia menambahkan ada 491 orang yang terkait dengan transaksi janggal sebesar Rp 349,87 triliun tersebut. Mahfud meminta agar Menkeu dapat diundang dalam rapat bersama Komisi III DPR dan PPATK serta Komite TPPU berikutnya. Hal tersebut untuk mencocokan data yang dipegang baik dari PPATK maupun Kementerian Keuangan. Rapat berikutnya diharapkan dapat meluruskan kesalahan tafsir dari Menkeu. "Bagi saya gampang kok masalah ini undang Bu Sri Mulyani, cocokkan, ini datanya PPATK. Hanya beda menafsirkan. Seperti kasus 189 itu. Itu kan 15 entitas, bea cukai, tapi pertama Bu Sri Mulyani ngga tahu. Buktinya tanggal 14 dia baru menjelaskan itu," imbuh Mahfud. Kembali Mahfud menegaskan bahwa tidak ada data yang berbeda antara PPATK dengan Kementerian Keuangan. Hanya saja terjadi penafsiran yang berada, dimana Kemenkeu mengeluarkan pihak yang bukan termasuk dalam pegawai instansinya. Sedangkan menurut PPATK tindak pencucian uang melibatkan beberapa pihak terkait lainnya yang menjadi satu rangkaian. Dalam tindak pencucian uang kerap menggunakan 'tangan orang lain' dalam melakukan tindakannya. Maka nama-nama terkait tak bisa dipinggirkan meski bukan termasuk dalam pegawai Kemenkeu. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni mengatakan, akan ada rapat lanjutan yang mengundang Menteri Keuangan, PPATK dan Ketua Komite TPPU Mahfud MD. "Kita sudah tahu ini, sudah paham ujung dari apa yang disampaikan Pak Menko (Mahfud MD). Berkenan kah kita akhiri rapat ini. Nanti kita atur rapat dengan Bu Menteri Keuangan sekaligus Pak Menko dan PPATK. Setuju?" kata Sahroni seraya mengetok palu sebagai tanda disetujui adanya rapat lanjutan. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menjelaskan, dalam daftar list lengkap yang disampaikan bahwa tak hanya oknum tapi juga ada perusahaan cangkang yang diduga dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kemenkeu. Dimana satu oknum diduga memiliki lima hingga tujuh perusahaan cangkang yang diduga sebagai upaya pencucian uang. "Jadi dalam satu surat ada oknum satu, perusahaan ada lima, tujuh dan segala macam," kata Ivan. Namun, list tersebut dalam rapat dikeluarkan oleh Kemenkeu. Sehingga angka Rp35,54 triliun yang ditemukan oleh PPATK menjadi Rp 22 triliun setelah dikeluarkan entitas perusahaan. "Lalu dikeluarkan lagi entitas yang tidak ada Kemenkeu, tapi dikeluarkan lagi dari entitas perusahaan yang ada kemenkeu jadi Rp3,3 triliun. Lalu kemudian rame PPATK salah segala macam," kata Ivan. Menurutnya, perusahaan cangkang tak dapat dikeluarkan dari list transaksi mencurigakan Kemenkeu. Pasalnya antara oknum dan perusahaan cangkang memiliki keterkaitan. Atas dasar tersebut maka, PPATK konsisten bahwa temuan transaksi mencurigakan yang melibatkan Kemenkeu sebesar Rp 35,54 triliun yang melibatkan 461 pegawai disana. Ivan menjelaskan, terdapat dugaan oknum di Kemenkeu menggunakan perusahaan cangkang atas nama anak, istri bahkan sopir mereka untuk menutupi jejak TPPU. "Data perusahaan ngga bisa dikeluarkan dipisahkan dari oknum tadi. Misalnya dia gunakan nama perusahaan dengan nama pemiliknya istri, anak, supir, tukang kebun dan segala macam. Kalau data dikeluarkan jadi Rp3,3 triliun, kami ngga lakukan itu," ungkapnya.
Ia menjelaskan, modus TPPU utamanya proxy crime tindak pidana selalu menggunakan tangan orang lain. Ia menegaskan jika data tersebut dikeluarkan sama halnya dengan PPATK yang justru membohongi penyidik. "Kalau kami keluarkan data itu, justru kami membohongi penyidik. Kami masukan nama perusahaan berikut nama oknum ketemulah Rp 35 triliun. Memang kalau dikeluarkan Rp 22 triliun lagi itu hanya Rp 3,3 triliun," kata Ivan.
Baca Juga: PPATK Sebut Ada Perusahaan Cangkang yang Digunakan dalam Dugaan TPPU di Kemenkeu Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat