Tak pernah terlintas sebelumnya di benak Evi Silviati menjadi pengusaha. Perempuan kelahiran 31 Oktober 1977 ini bahkan sempat bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan valuta selama 10 tahun. “Tapi bekerja kantoran membuat saya tidak bisa mengatur waktu untuk keluarga, khususnya untuk anak saya,” kenang Evi membuka kisahnya. Oleh karena itu, Evi memutuskan untuk berdikari. Masih sambil bekerja, ia mulai merintis usahanya pada 2011. Produksi tas menjadi pilihannya karena erat dengan kegemarannya berburu tas etnik. Apalagi, ketika itu, tak mudah menemukan produk tas etnik yang sesuai dengan seleranya dengan harga yang terjangkau. Alasan lainnya, produk tas lebih mudah diserap pasar ketimbang busana yang pembeliannya memerlukan pertimbangan motif dan ukuran. "Dua hal itu sering tak bersesuaian,” kata perempuan yang akrab disapa Evi So ini. Saat awal produksi, Evi hanya mengandalkan seorang penjahit. Tak menunggu pesanan datang, dia langsung membuat tas dengan menerapkan sistem kuota pada penjahitnya, yakni 25 tas saban minggu. Gerai daring menjadi lapak pilihan Evi. Dia memilih nama Sobag sebagai merek dagangnya. Dalam sekali unggahan lewat akun media sosial, Sobag ludes terjual. Melihat potensi pasar yang begitu bagus, Evi lantas mengundurkan diri dari pekerjaannya dan fokus menggarap pasar tas etnik ini.
Sobag, besar berkat reseller
Tak pernah terlintas sebelumnya di benak Evi Silviati menjadi pengusaha. Perempuan kelahiran 31 Oktober 1977 ini bahkan sempat bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan valuta selama 10 tahun. “Tapi bekerja kantoran membuat saya tidak bisa mengatur waktu untuk keluarga, khususnya untuk anak saya,” kenang Evi membuka kisahnya. Oleh karena itu, Evi memutuskan untuk berdikari. Masih sambil bekerja, ia mulai merintis usahanya pada 2011. Produksi tas menjadi pilihannya karena erat dengan kegemarannya berburu tas etnik. Apalagi, ketika itu, tak mudah menemukan produk tas etnik yang sesuai dengan seleranya dengan harga yang terjangkau. Alasan lainnya, produk tas lebih mudah diserap pasar ketimbang busana yang pembeliannya memerlukan pertimbangan motif dan ukuran. "Dua hal itu sering tak bersesuaian,” kata perempuan yang akrab disapa Evi So ini. Saat awal produksi, Evi hanya mengandalkan seorang penjahit. Tak menunggu pesanan datang, dia langsung membuat tas dengan menerapkan sistem kuota pada penjahitnya, yakni 25 tas saban minggu. Gerai daring menjadi lapak pilihan Evi. Dia memilih nama Sobag sebagai merek dagangnya. Dalam sekali unggahan lewat akun media sosial, Sobag ludes terjual. Melihat potensi pasar yang begitu bagus, Evi lantas mengundurkan diri dari pekerjaannya dan fokus menggarap pasar tas etnik ini.