Sole risk, opsi Pertamina-ExxonMobil di proyek JTB



JAKARTA. PT Pertamina (persero) dan Exxonmobil terus melakukan pembicaraan terkait komersialisasi proyek Jambaran Tiung Biru (JTB). Pembicaraan tersebut dilakukan usai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (EDDM) Ignasius Jonan memutuskan agar Pertamina mengembangkan proyek JTB.

Denie S. Tampubolon, Senior VP Upstream Business Development Pertamina mengatakan, perwakilan Exxon dari Houston, Amerika, telah datang ke Indonesia untuk berbicara serius dengan Pertamina untuk mencari jalan keluar masalah komersial agar proyek JTB bisa dikembangkan secepatnya.

Sebelumnya, Pertamina bermaksud membeli hak partisipasi (farm in) yang dimiliki oleh Exxon sebesar 45% di lapangan JTB. Dengan begitu, Exxon pun harus melakukan farm out. Namun, Denie bilang, jika dilakukan dengan opsi farm out maka prosesnya membutuhkan waktu yang lama.


Pasalnya, Pertamina bisa-bisa harus menyiapkan kontrak bagi hasil alias production sharing contract (PSC) baru."Kalau farm out agak panjang langkah-langkahnya. Kami harus keluarkan area kontrak sendiri. PSC baru kan agak panjang," papar Denie, Kamis (9/2).

Padahal, Pertamina saat ini mengejar agar proses komersialisasi dengan Exxonmobil bisa selesai pada akhir Maret 2017. Dengan begitu, proyek JTB bisa onstream pada 2022 mendatang.

Jika terlambat onstream maka nilai keekonomian lapangan JTB akan menurun. "Kalau Maret tidak selesai nanti terlambat nih, geser segala macam. Itu kami hindari," imbuhnya.

Untuk itu berbagai opsi skema komersial pun tengah dijajaki oleh Pertamina dan Exxon. Salah satu yang mengemuka adalah skema sole risk. Melalui sole risk, Pertamina bisa melakukan investasi dan kegiatan di proyek JTB tanpa melibatkan Exxon. Keuntungan berupa produksi dari kegiatan di lapangan tersebut pun seluruhnya akan menjadi milik Pertamina.

"Dia kan tidak keluar uang tidak ikut investasi tidak dapat apa-apa juga. Itu kalau sole risk ya," jelas Denie.

Menurut Denie, skema sole risk akan lebih mudah karena penggunaan skema tersebut hanya melibatkan Exxon dan Pertamina yang bekerjasama di proyek JTB. Meski begitu, ia tidak bisa memastikan penggunaan sole risk akan membuat pengembangan lapangan JTB bisa lebih cepat.

Untuk itu, hingga saat ini, Pertamina dan Exxon masih mengkaji skema terbaik bagi dua perusahaan migas tersebut. "Masing-masing ada pro kontranya. Makanya lagi kami tanya, pada prinsipnya Exxon mendukung, maka itu dia bilang mari cari skema yang sama-sama bisa senang. Belum tahu skemanya," ucap Denie.

Yang jelas, akhir Maret 2017, kedua perusahaan ditargetkan sudah bisa memutuskan skema komersial yang terbaik. Jika keputusan komersial belum juga tercapai maka Pertamina akan menyerahkan keputusannya kepada pemerintah.

Asal mula macetnya pengembangan proyek JTB dimulai dari perbedaan keekonomian yang berbeda antara Pertamina dan Exxon. Exxon menghendaki harga gas dari JTB bisa di atas US$ 7 per mmbtu. Sementara, hitungan Pertamina harga gas US$ 7 per mmbtu sudah bisa memenuhi keekonomian lapangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini