Solusi mendorong pertumbuhan DPK



Di tengah berbagai indikator yang membaik saat ini, perbankan menghadapi likuiditas yang cenderung ketat. Hal ini disebabkan meningkatnya pertumbuhan kredit yang tak disertai pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang mencukupi.

Pertumbuhan kredit pada Agustus 2018 mencapai 12,1% (yoy), yang merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Februari 2015. Sementara itu pada saat yang sama DPK hanya tumbuh 6,9% (yoy).

Hal ini menyebabkan rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit ratio (LDR) yang merupakan indikator utama likuiditas perbankan naik menjadi 93,2%. Posisi ini lebih tinggi dibandingkan dengan batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia yaitu 92%.


Likuiditas di sistem perbankan yang juga tercermin dari penempatan ekses dana bank di instrumen BI terlihat menurun signifikan, dari Rp 516,7 triliun pada awal Februari tahun ini menjadi hanya Rp 200 triliun pada akhir Oktober atau telah menurun lebih dari Rp 300 triliun.

Apabila dilihat secara lebih rinci berdasarkan jenis, rendahnya pertumbuhan DPK terutama disebabkan penurunan pertumbuhan deposito berjangka. Deposito berjangka pada Agustus 2018 secara tahunan tercatat hanya tumbuh sekitar 3,4%. Sedangkan secara bersamaan giro dan tabungan masih tumbuh masing-masing sebesar 8,4% dan 11%.

Hal ini disebabkan strategi bank yang cenderung mengurangi deposito, yang merupakan dana mahal dengan suku bunga yang tinggi. Untuk tetap menjaga rasio NIM, bank lebih banyak menghimpun dana murah yang berasal dari giro dan tabungan atau biasa disebut CASA (current account and saving account) dengan suku bunga yang lebih rendah.

Namun hal itu belum menjawab pertanyaan mengapa pertumbuhan DPK keseluruhan masih rendah. Dalam pengamatan kami, terdapat beberapa hal yang bisa menjelaskan penyebab ketatnya likuiditas dan rendahnya pertumbuhan DPK perbankan. Pertama, terjadinya defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit atau CAD) dan defisit neraca perdagangan sepanjang tahun ini. Hingga kuartal II 2018, CAD telah mencapai US$ 8,02 miliar atau 3,04% terhadap PDB, yang merupakan CAD tertinggi selama empat tahun terakhir dan di periode Januari-September 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit US$ 3,8 miliar. Investor asing juga cenderung melakukan aksi jual di pasar saham domestik lebih dari Rp 50 triliun. Hal ini menyebabkan terjadinya arus dana keluar dari sistem keuangan di Indonesia.

Kedua, terdapat peralihan dana nasabah dari DPK perbankan ke instrumen investasi yang dapat memberi return lebih baik, terutama obligasi pemerintah. Total kepemilikan SBN dana pensiun, asuransi dan investor individu per Oktober 2018 mencapai Rp 328 triliun, atau meningkat Rp 64 triliun dibandingkan akhir 2017. Di sisi lain, penempatan portofolio investasi dana pensiun dan asuransi di deposito berjangka turun Rp 25,8 triliun sepanjang tahun 2018.

Ketiga, perkembangan fiskal dimana pertumbuhan penerimaan pajak saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi belanja pemerintah. Hingga Agustus, penerimaan pajak tumbuh 16,5%. Peningkatan penerimaan pajak akan menyedot likuiditas dari perbankan karena nasabah harus menarik dana untuk membayar kewajiban pajaknya.

Sementara itu, di sisi lain realisasi belanja pemerintah, yang dapat mendorong peningkatan likuiditas, pada saat yang sama hanya tumbuh 8,8% secara tahunan.

Dalam mengatasi ketatnya likuiditas tersebut, BI telah melakukan intervensi melalui instrumen term repo dan FX swap. Saat ini total injeksi likuiditas BI melalui fx swap mencapai Rp 86 triliun.

Namun intervensi BI lebih bersifat jangka pendek dan tak dapat dilakukan terus menerus. Bank perlu mendapatkan pendanaan yang lebih stabil dan lebih bersifat jangka panjang. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan aturan net stable funding ratio (NSFR) yang telah mulai diterapkan sejak awal tahun ini.

Dalam NSFR, pendanaan yang lebih stabil dan bersifat jangka panjang diperoleh melalui pendanaan ritel sehingga mau tak mau bank harus tetap meningkatkan pertumbuhan DPK, terutama dari segmen ritel. Simpanan yang diperoleh dari segmen korporasi dianggap tak stabil karena dapat ditarik sewaktu-waktu dalam jumlah besar.

Oleh sebab itu, bank harus mencari strategi yang lebih baik dan tak hanya mengandalkan kenaikan suku bunga untuk mendorong DPK ritel, karena kenaikan suku bunga yang terlalu berlebihan dapat berdampak besar kepada menurunnya NIM dan profitabilitas bank. Bank perlu memperluas basis nasabahnya, terutama pada kalangan masyarakat tingkat menengah ke bawah yang masih belum memperoleh layanan perbankan.

Kami melihat terdapat peluang pada segmen tersebut, apalagi dengan penetrasi layanan perbankan yang masih tergolong rendah di Indonesia, sehingga ruang bagi pertumbuhan DPK masih cukup besar.

Last but not least, realisasi belanja pemerintah dari tahun ke tahun dapat lebih dioptimalkan. Idealnya, realisasi belanja pemerintah lebih dipercepat, tersebar lebih merata tiap kuartal dan tak terkonsentrasi di akhir tahun. Selain dapat mendorong likuiditas di sistem keuangan, semakin optimalnya belanja pemerintah berefek positif terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. •

Rully Arya Wisnubroto Senior Financial Market Analyst Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi