Songsong 2045 Dengan Percepatan Peningkatan Literasi dan Tata Kelola Pasar Modal



KONTAN.CO.ID – JAKARTA.  JAKARTA. Lukas Setia Atmadja resmi menyandang gelar sebagai guru besar di Universitas Prasetya Mulya, Tangerang, pada Selasa (5/3). Lukas juga menjabat sebagai Kepala Departemen Keuangan di Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya dan merupakan salah satu kolumnis tetap di Harian Kontan.

Dalam orasi ilmiahnya sebagai Guru Besar, Lukas memulai dengan memaparkan data mengenai pasar keuangan Indonesia. 

Dia menyoroti bahwa meskipun terdapat potensi yang besar untuk pengembangan lebih lanjut, Indonesia masih tertinggal dalam hal kapasitas pendanaan dari sektor keuangan dibandingkan dengan negara-negara ASEAN-5 lainnya. 


Baca Juga: Saham Bank Digital Turun Tajam Sepanjang Tahun Ini, Simak Prospeknya

Lukas juga menekankan bahwa rasio aset bank terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya mencapai 59%, sementara rasio kapitalisasi pasar modal hanya 48%, sementara negara ASEAN-5 lainnya memiliki rasio yang jauh lebih tinggi, di atas 100%.

Dalam pidatonya, Lukas menyatakan dua fokus utama yang akan diambilnya. Pertama, peningkatan literasi keuangan, termasuk literasi pasar modal. 

Kedua, peningkatan kualitas tata kelola dalam struktur pasar modal. Menurutnya, literasi keuangan yang baik akan mendorong minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal.

“Saya mengusulkan sebuah program akselerasi peningkatan literasi keuangan yang saya sebut sebagai ‘Satu Keluarga Satu Pencerah Keuangan’,” ungkap Lukas. 

Baca Juga: Saham Global Mediacom (BMTR) Melompat 17% Kamis (28/7), Lo Kheng Hong Ketiban Rezeki

Dia menargetkan setiap keluarga memiliki minimal satu anggota yang memiliki literasi keuangan yang baik, yang akan menjadi "pencerah" atau agen perubahan bagi anggota keluarga lainnya dalam hal literasi keuangan.

Lukas juga menyoroti preferensi masyarakat Indonesia untuk menyimpan uang mereka di bank daripada di pasar modal. “Hal ini terlihat dari dana pihak ketiga perbankan yang mencapai Rp 8.200 triliun pada akhir 2023, setara dengan 40% dari PDB Indonesia,” jelas Lukas.

Untuk memperkuat tata kelola pasar modal, Lukas menyoroti dua hal penting, yaitu independensi dewan komisaris dan praktik manipulasi harga saham.

Lukas mengusulkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mendorong perusahaan publik agar memiliki minimal 50% komisaris independen. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan insentif dan secara bertahap meningkatkan persyaratan minimal dari 30% menjadi 50%.

Baca Juga: Meski Harga Saham Sudah Turun, Valuasi Bank Digital Masih Mahal dan Kurang Menarik

Selain itu, Lukas juga mengusulkan bahwa penanggulangan praktik manipulasi harga saham sebaiknya dilakukan sejak awal, saat sebuah perusahaan melakukan IPO. OJK harus melakukan pengawasan ketat untuk mencegah perusahaan dengan fundamental dan tata kelola yang buruk masuk ke bursa.

“Saya memperhatikan bahwa dari 313 saham IPO di BEI selama 5 tahun terakhir, sebanyak 43% saham mengalami penurunan harga lebih dari 40% dari harga IPO, dan 25% saham IPO bahkan memiliki nilai kurang dari Rp 50,” jelas Lukas.

Lukas menegaskan bahwa saham IPO dengan fundamental yang buruk dan dijual dengan harga yang terlalu tinggi pada saat IPO akan sangat merugikan investor.

Baca Juga: Ini penyebab investasi bodong tumbuh subur di Indonesia

Orasi tersebut diakhiri dengan rekomendasi dari Lukas kepada pemerintah melalui OJK, lembaga pendidikan, dan masyarakat, terutama generasi Z dan Milenial, untuk meningkatkan literasi keuangan. 

Dia juga menekankan bahwa lembaga-lembaga, mulai dari OJK, bursa efek, emiten, perusahaan efek, hingga investor, memiliki tanggung jawab bersama dalam meningkatkan tata kelola pasar modal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli