Soros: Krisis finansial besar akan terjadi, Uni Eropa terancam



KONTAN.CO.ID - LONDON. Miliarder kelahiran Hungaria George Soros menilai penguatan tajam dollar AS dan hengkangnya dana asing dari emerging market akan mendorong terjadinya krisis finansial besar lainnya. Soros juga mengingatkan, Uni Eropa saat ini juga menghadapi ancaman eksistensial yang akan segera terjadi.

Mengutip Bloomberg, pemutusan kesepakatan nuklir dengan Iran dan "kehancuran" aliansi transatlantik antara Uni Eropa dan AS akan berdampak negatif pada ekonomi Eropa dan menyebabkan masalah lainnya, termasuk devaluasi mata uang emerging market. Hal tersebut diungkapkan Soros dalam sebuah pidato di Paris pada Selasa (29/5) kemarin.

"Kita kemungkinan tengah menuju krisis keuangan besar lainnya," jelasnya.


Peringatan keras dari Soros ini muncul karena imbal hasil obligasi Italia telah melonjak ke posisi tertinggi beberapa tahun terakhir. Selain itu, negara-negara berkembang utama -termasuk Turki dan Argentina- sedang berjuang untuk menahan kejatuhan ekonomi akibat inflasi yang tinggi.

Dalam kesempatan yang sama, Soros juga menawarkan tiga poin proposal untuk mempertahankan status Uni Eropa. CNBC melaporkan, aliansi negara-negara Eropa telah berada di bawah tekanan karena negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka mengencangkan ikat pinggang untuk mengurangi utang. Hal ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Kondisi ini diperparah dengan tingginya angka migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke sejumlah negara yang saat ini tengah berjuang mengatasi krisis keuangan.

Aliansi Eropa telah berada di bawah tekanan karena negara-negara yang lebih besar dan lebih kuat menuntut agar mereka yang bergumul mengekang pengeluaran mereka untuk mengurangi utang. Penegakan yang diberlakukan ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran di negara-negara seperti Yunani dan Italia. Ditambahkan ke campuran adalah lonjakan migrasi dari Timur Tengah dan Afrika ke banyak negara yang sudah berjuang di belakang krisis keuangan.

Dalam pidatonya berjudul "How to Save Europe," Soros mengklaim bahwa isu-isu mendesak blok dapat dipecah menjadi krisis pengungsi, perpecahan teritorial seperti Brexit, dan perjuangan ekonomi yang disebabkan oleh penghematan (austerity).

Dia mengatakan, langah terbaik bagi Eropa untuk memulai adalah mengatasi krisis pengungsi dan menghapus peraturan yang menentukan jumlah pengungsi yang harus diterima oleh masing-masing negara.

"Negara-negara anggota seharusnya tidak dipaksa untuk menerima pengungsi yang tidak mereka inginkan dan pengungsi tidak boleh dipaksa untuk menetap di negara-negara di mana mereka tidak ingin pergi," kata Soros.

Soros juga menginginkan agar Uni Eropa melindungi perbatasan eksternal, namun tetap terbuka untuk migran yang sah. Dia berpendapat bahwa gagasan "benteng Eropa" tidak realistis.

Dia membuat sketsa rencana untuk mendanai pendidikan yang lebih baik dan pengangguran di Afrika dengan biaya 30 miliar euro (US$ 34,7 miliar) per tahun. Soros mengklaim, hal ini akan membendung mereka yang mencari perlindungan. Soros mengatakan krisis ini menjadi krisis Uni Eropa dan pembiayaan dapat diatur melalui kapasitas pinjaman Uni Eropa yang sebagian besar tidak terpakai.

Masalah terakhir adalah "disintegrasi wilayah" di mana fokus utama Soros adalah Brexit.

Soros menggambarkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebagai hal yang "sangat merusak" dan "berbahaya bagi kedua belah pihak". Dia berpendapat, Brussels harus mengubah citra Uni Eropa sebagai sebuah asosiasi bahwa negara-negara ingin bergabung.

Dia mengklaim hal ini bisa dicapai dengan menerima bahwa euro sebagai mata uang memiliki banyak masalah yang belum terselesaikan dan bahwa status dua-tier dari zona euro dan negara-negara zona non-euro harus diakhiri.

Soros mengatakan gagasan "multi-speed Eropa" di mana semua negara bergerak untuk integrasi lebih lanjut harus ditinggalkan dan diganti dengan gagasan "multi-track Eropa" di mana negara-negara anggota memiliki lebih banyak pilihan atas arah politik dan ekonomi mereka.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie