S&P khawatirkan rasio utang BUMN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Standard & Poor's Global Ratings menyoroti memburuknya neraca di badan usaha milik negara (BUMN) yang terlibat dalam proyek infrastruktur yang dipimpin pemerintah Indonesia.

Analis S&P Xavier Jean mengatakan, BUMN terutama mereka yang berada di sektor kelistrikan dan konstruksi, telah meminjam dalam jumlah yang sangat besar untuk mencocokkan rencana pengembangan pemerintah, menyebabkan neraca mereka menjadi sangat lemah.

Rasio hutang 20 BUMN yang terdaftar di bursa serta dinilai oleh S&P menunjukkan adanya peningkatan 5 kali terhadap EBITDA.


"Ini adalah tren yang kami jaga ketat karena kami pikir level tersebut akan bertahan dan akan meningkat pada 2018 dan menjelang pemilihan 2019," kata Xavier saat memaparkan presentasinya dalam web broadcast Asia-Pacific Sector Insights: A Look Into The Corporate & Infrastructure Sector For Indonesia, Selasa (22/3).

Pembangunan infrastruktur adalah bagian inti dari agenda ekonomi Presiden Indonesia, Joko Widodo dan ditujukan untuk memangkas biaya logistik tinggi, yang merupakan biang dalam menciptakan kemacetan dalam perekonomian.

Pemerintah memperkirakan total investasi infrastruktur sebesar US$ 450 miliar diperlukan antara tahun 2014 hingga 2019, yang hanya dapat didanai sebagian oleh pemerintah.

Mengambil peran di sebagian besar proyek infrastruktur, BUMN harus meminjam untuk memenuhi kebutuhan modal kerja, seperti untuk gaji, sementara proyek sering tertunda atau mengambil waktu untuk menghasilkan pendapatan.

Sementara itu, dorongan pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur di daerah-daerah berpenduduk rendah juga menimbulkan kekhawatiran atas pendapatan di masa depan.

"Tidak jelas bagi kami hari ini jika banyak investasi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan ini di luar Jawa, di luar pusat-pusat padat penduduk, akan menjadi proyek yang menguntungkan atau tidak," kata Jean.

Jika perusahaan terus meningkatkan investasi pada kecepatan saat ini, mereka dapat dipaksa untuk menghentikan semua investasi dalam lima tahun untuk mengendalikan keuangan mereka, menegosiasikan ulang utang mereka atau meminta rekapitalisasi oleh pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia