JAKARTA. Guncangan sentimen global tak cukup berimbas untuk menggoyahkan risiko investasi di Indonesia. Terbukti, sepanjang tahun ini persepsi risiko investasi dalam negeri kian membaik. Hal tersebut tercermin dalam angka Credit Default Swap alias CDS. Terbaru, tepatnya Jumat (19/5) lembaga pemeringkat surat utang internasional Standard & Poor's menyematkan rating surat utang Indonesia ke level investment grade. Otomatis, hal tersebut membuat angka CDS kian landai. Sebagai informasi saja, semakin rendah angka CDS, tentu mengindikasikan persepsi risiko suatu kawasan yang mengecil. Sebaliknya, jika angka CDS membesar, otomatis risiko investasi daerah tersebut kian tinggi. Mengutip Bloomberg, secara year to date (ytd) hingga Jumat (19/5) angka CDS surat utang tenor 5 tahun mengalami penurunan yang signifikan 22,08% ke level 123,03 dari posisi akhir tahun 2016 berada di level 157,89. Sedang, di periode yang sama, angka CDS surat utang tenor 10 tahun turun 15,84% ke level 189,62 dari posisi akhir tahun lalu 225,33. Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro menjelaskan, faktor yang membuat angka CDS dalam negeri mengecil tak lain berkat fundamental dalam negeri yang stabil. Misalnya saja, terjaganya inflasi yang masih di kisaran 4%, cadangan devisa yang naik. Lalu, neraca perdagangan April meningkat dibanding Maret yang tercatat US$ 1,24 miliar. Selain itu, nilai tukar rupiah hingga Mei inipun masih cukup stabil. "Ketahanan fundamental ekonomi domestik berdampak pada persepsi investor global yang memandang risiko berinvestasi di pasar Indonesia semakin rendah sehingga aliran dana asing semakin deras masuk ke surat berharga negara (SBN)," tukasnya. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan hingga 18 Mei 2017 menunjukkan, kepemilikan asing di SBN sudah mencapai Rp 742,65 triliun. Artinya, sudah mengalami kenaikan 11,54% dari posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 665,81 triliun. Nicodimus menambahkan, kuatnya fundamental ekonomi dalam negeri membuat pasar domestik tidak mudah bergejolak dan dapat meredam tekanan dari global yang sewaktu-waktu bisa terjadi. "Selain itu, tren penurunan imbal hasil US Treasury diprediksi terus memicu investor keluar dari pasar Amerika Serikat (AS) menuju pasar negara berkembang yang salah satu contohnya Indonesia," jelas dia. Ia memprediksi, tren angka CDS dalam negeri berpotensi terus menurun. Penyebabnya, tentu berasal dari pertumbuhan ekonomi domestik dan juga kinerja perusahaan yang diprediksi kian membaik.
S&P membuat angka CDS Indonesia kian landai
JAKARTA. Guncangan sentimen global tak cukup berimbas untuk menggoyahkan risiko investasi di Indonesia. Terbukti, sepanjang tahun ini persepsi risiko investasi dalam negeri kian membaik. Hal tersebut tercermin dalam angka Credit Default Swap alias CDS. Terbaru, tepatnya Jumat (19/5) lembaga pemeringkat surat utang internasional Standard & Poor's menyematkan rating surat utang Indonesia ke level investment grade. Otomatis, hal tersebut membuat angka CDS kian landai. Sebagai informasi saja, semakin rendah angka CDS, tentu mengindikasikan persepsi risiko suatu kawasan yang mengecil. Sebaliknya, jika angka CDS membesar, otomatis risiko investasi daerah tersebut kian tinggi. Mengutip Bloomberg, secara year to date (ytd) hingga Jumat (19/5) angka CDS surat utang tenor 5 tahun mengalami penurunan yang signifikan 22,08% ke level 123,03 dari posisi akhir tahun 2016 berada di level 157,89. Sedang, di periode yang sama, angka CDS surat utang tenor 10 tahun turun 15,84% ke level 189,62 dari posisi akhir tahun lalu 225,33. Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro menjelaskan, faktor yang membuat angka CDS dalam negeri mengecil tak lain berkat fundamental dalam negeri yang stabil. Misalnya saja, terjaganya inflasi yang masih di kisaran 4%, cadangan devisa yang naik. Lalu, neraca perdagangan April meningkat dibanding Maret yang tercatat US$ 1,24 miliar. Selain itu, nilai tukar rupiah hingga Mei inipun masih cukup stabil. "Ketahanan fundamental ekonomi domestik berdampak pada persepsi investor global yang memandang risiko berinvestasi di pasar Indonesia semakin rendah sehingga aliran dana asing semakin deras masuk ke surat berharga negara (SBN)," tukasnya. Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan hingga 18 Mei 2017 menunjukkan, kepemilikan asing di SBN sudah mencapai Rp 742,65 triliun. Artinya, sudah mengalami kenaikan 11,54% dari posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 665,81 triliun. Nicodimus menambahkan, kuatnya fundamental ekonomi dalam negeri membuat pasar domestik tidak mudah bergejolak dan dapat meredam tekanan dari global yang sewaktu-waktu bisa terjadi. "Selain itu, tren penurunan imbal hasil US Treasury diprediksi terus memicu investor keluar dari pasar Amerika Serikat (AS) menuju pasar negara berkembang yang salah satu contohnya Indonesia," jelas dia. Ia memprediksi, tren angka CDS dalam negeri berpotensi terus menurun. Penyebabnya, tentu berasal dari pertumbuhan ekonomi domestik dan juga kinerja perusahaan yang diprediksi kian membaik.