S&P menurunkan outlook Indonesia, ini kata Pefindo



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) Global Rating mempertahankan Sovereign Credit Rating atau peringkat utang Indonesia tetap BBB/A-2. Namun, S&P menurunkan prospek (outlook) utang Indonesia dari sebelumnya stabil menjadi negatif.

Menurut S&P, revisi outlook dari stabil menjadi negatif ini dikarenakan adanya peningkatan risiko seperti posisi eksternal Indonesia yang mulai melemah. Juga karena beban utang pemerintah dinilai akan jauh lebih tinggi secara material selama beberapa tahun ke depan.

Baca Juga: Outlook negatf dari S&P bisa tekan IHSG, simak proyeksi hingga akhir tahun


Head of Economics Research Pefindo Fikri C. Permana menilai, adanya penurunan prospek dari S&P akan memberikan sedikit pengaruh pada lembaga rating lain. Terlebih, karena perubahannya hanya pada outlook Fikri memproyeksi kemungkinan lembaga rating lainnya juga akan bersikap sama.

"Namun saya melihat hal itu lebih dikarenakan melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, dibanding penurunan outlook yang dilakukan oleh S&P," ujar Fikri kepada Kontan.co.id, Minggu (19/4).

FIkri melanjutkan, penurunan prospek dari S&P ini tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap beban utang Indonesia. Bahkan, seharusnya ini menunjukkan hal sebaliknya, dengan melebarnya budget defisit yang ditetapkan menjadi 5,07% dari produk domestik bruto (PDB), maka hal ini direspons oleh S&P dengan menurunkan outlook.

Baca Juga: S&P pangkas outlook Indonesia, bagaimana dampaknya ke pergerakan IHSG?

Kemudian, kata Fikri, adanya penurunan outlook ini akan sedikit berpengaruh pada imbal hasil (yield) atau harga Surat Utang Negara (SUN).

"Saya pikir yield dan harga SUN kemungkinan akan bervolatilitas dalam jangka pendek, serta berada pada kisaran plus/minus 0.2% dari level penutupan di akhir minggu lalu. Namun, dalam jangka menengah sampai panjang perubahan outlook ini tidak akan mengubah yield atau harga SUN secara signifikan," kata Fikri.

Hal ini dikarenakan respons pasar keuangan yang sangat cepat. Tak hanya itu, menurutnya para investor juga sudah priced in pada saat pemerintah mengumumkan kemungkinan adanya pelebaran defisit APBN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto