JAKARTA. Penerapan larangan ekspor mineral mentah yang mulai diberlakukan pada 14 Januari 2014 terus menghadirkan sentimen negatif pada PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM).Pada Jumat (21/3), Standard & Poor's Rating Service (S&P) memangkas peringkat utang jangka panjang atau long-term corporate credit rating perusahaan yang disebut Antam dari B+ (B plus) menjadi B- (B minus). Bersamaan dengan itu, S&P juga memangkas long-term ASEAN regional scale rating Antam dari "axBB-" menjadi "axB". "Kami memangkas rating Antam karena meyakini efisiensi operasional, arus kas dan likuiditas perusahaan (Antam) akan melemah dalam 12 bulan ke depan," kata Xavier Jean, Analis S&P dalam siaran pers, Jumat (21/3). Pada Januari lalu, S&P memang telah memberi sinyal untuk melakukan downgrade dengan menempatkan Antam dalam CreditWatch berimplikasi negatif. Xavier bilang, keputusan downgrade diambil lantaran S&P memprediksi larangan ekspor mineral mentah akan terus berlaku setidaknya hingga Juli 2014 nanti. Keputusan ini tentunya merugikan Antam karena tidak bisa mengekspor bijih nikel. Padahal, kontribusi ekspor komoditas ini mencapai sekitar 70% dari laba kotor Antam di tahun lalu. Larangan ekspor ini, lanjut Xavier, juga akan mendongkrak kenaikan beban operasional yang harus dikeluarkan Antam. Tak hanya itu, Antam tentunya perlu menggelontorkan investasi cukup besar untuk segera menyelesaikan unit pengolahan nikel. Saat ini, Antam memang sedang menyelesaikan pabrik pengolahan bijih bauksit menjadi Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat. ANTM mesti menggelontorkan anggaran investasi senilai US$ 490 juta untuk membangun pabrik CGA Tayan. Kapasitas pabrik tersebut mencapai 300.000 ton CGA per tahun. Pada 28 Oktober 2013 lalu, Antam sudah melakukan uji operasi (commisioning) pabrik CGA Tayan. Masalahnya, pabrik ini baru ditargetkan beroperasi secara komersial pada semester II tahun ini. Hal ini tentunya akan memberatkan kinerja keuangan Antam karena sokongan pendapatan dari CGA Tayan belum maksimal. Di sisi lain, Antam bakal kehilangan pendapatan dari ekspor bijih nikel dan bauksit lantaran larangan pemerintah tersebut.Kondisi tersebut tentunya akan memberatkan laporan keuangan Antam. Dalam hitungan S&P, jika larangan ekspor tetap berlaku dalam dua tahun ke depan, rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak dan beban penyusutan (EBITDA) Antam akan membengkak menjadi 8-10 kali di 2015 mendatang.Antam sebenarnya masih bisa berharap dari beberapa faktor positif seperti beroperasinya pabrik CGA Tayan, maupun kenaikan harga jual emas dan nikel di tahun ini. Namun, tiga faktor ini diyakini S&P belum akan mampu mengkompensasi dampak negatif dari larang ekspor bijih nikel. "Kami mengestimasikan bahwa larangan ekspor (bijih nikel) akan memangkas EBITDA perusahaan (Antam) sekitar Rp 200 miliar-Rp 300 miliar per kuartal," ujar XavierCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
S&P pangkas rating utang Antam jadi B-
JAKARTA. Penerapan larangan ekspor mineral mentah yang mulai diberlakukan pada 14 Januari 2014 terus menghadirkan sentimen negatif pada PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM).Pada Jumat (21/3), Standard & Poor's Rating Service (S&P) memangkas peringkat utang jangka panjang atau long-term corporate credit rating perusahaan yang disebut Antam dari B+ (B plus) menjadi B- (B minus). Bersamaan dengan itu, S&P juga memangkas long-term ASEAN regional scale rating Antam dari "axBB-" menjadi "axB". "Kami memangkas rating Antam karena meyakini efisiensi operasional, arus kas dan likuiditas perusahaan (Antam) akan melemah dalam 12 bulan ke depan," kata Xavier Jean, Analis S&P dalam siaran pers, Jumat (21/3). Pada Januari lalu, S&P memang telah memberi sinyal untuk melakukan downgrade dengan menempatkan Antam dalam CreditWatch berimplikasi negatif. Xavier bilang, keputusan downgrade diambil lantaran S&P memprediksi larangan ekspor mineral mentah akan terus berlaku setidaknya hingga Juli 2014 nanti. Keputusan ini tentunya merugikan Antam karena tidak bisa mengekspor bijih nikel. Padahal, kontribusi ekspor komoditas ini mencapai sekitar 70% dari laba kotor Antam di tahun lalu. Larangan ekspor ini, lanjut Xavier, juga akan mendongkrak kenaikan beban operasional yang harus dikeluarkan Antam. Tak hanya itu, Antam tentunya perlu menggelontorkan investasi cukup besar untuk segera menyelesaikan unit pengolahan nikel. Saat ini, Antam memang sedang menyelesaikan pabrik pengolahan bijih bauksit menjadi Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat. ANTM mesti menggelontorkan anggaran investasi senilai US$ 490 juta untuk membangun pabrik CGA Tayan. Kapasitas pabrik tersebut mencapai 300.000 ton CGA per tahun. Pada 28 Oktober 2013 lalu, Antam sudah melakukan uji operasi (commisioning) pabrik CGA Tayan. Masalahnya, pabrik ini baru ditargetkan beroperasi secara komersial pada semester II tahun ini. Hal ini tentunya akan memberatkan kinerja keuangan Antam karena sokongan pendapatan dari CGA Tayan belum maksimal. Di sisi lain, Antam bakal kehilangan pendapatan dari ekspor bijih nikel dan bauksit lantaran larangan pemerintah tersebut.Kondisi tersebut tentunya akan memberatkan laporan keuangan Antam. Dalam hitungan S&P, jika larangan ekspor tetap berlaku dalam dua tahun ke depan, rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak dan beban penyusutan (EBITDA) Antam akan membengkak menjadi 8-10 kali di 2015 mendatang.Antam sebenarnya masih bisa berharap dari beberapa faktor positif seperti beroperasinya pabrik CGA Tayan, maupun kenaikan harga jual emas dan nikel di tahun ini. Namun, tiga faktor ini diyakini S&P belum akan mampu mengkompensasi dampak negatif dari larang ekspor bijih nikel. "Kami mengestimasikan bahwa larangan ekspor (bijih nikel) akan memangkas EBITDA perusahaan (Antam) sekitar Rp 200 miliar-Rp 300 miliar per kuartal," ujar XavierCek Berita dan Artikel yang lain di Google News