JAKARTA. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi milik Pertamina menjadi Rp 10.200 (Pertamax) di 1 April 2012 membuat jarak yang semakin lebar antara BBM bersubsidi dan non subsidi. Di sisi lain SPBU asing yang juga menjajakan produk nyaris sama dengan Pertamina, tak banyak mengubah harga. Pakar Energi ITS Syariffuddin Mahmudsyah mengatakan, upaya untuk negeri kita bisa bebas subsidi bahan bakar minyak (BBM) juga berarti memaksa bangsa Indonesia untuk konversi penggunaan BBM ke dalam produk-produk asing. Berikut ini penuturan Syariffuddin Mahmudsyah selengkapnya kepada Kontan Senin (2/4) SPBU milik Chevron, Shell, Petronas akan merajalela di negeri ini. Dari sini terlihat jelas, jika harga BBM dinaikkan, siapa yang dirugikan dan siapa sebaliknya yang diuntungkan. Hingga saat ini, sebanyak 40 perusahaan asing sudah memegang izin prinsip pendirian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Masing-masing perusahaan memiliki hak mendirikan 20.000 SPBU. Itu artinya, sejumlah 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Bayangkan, nantinya seluruh kebutuhan minyak harus dibeli di perusahaan asing dan asing akan menguasai seluruh produksi Indonesia dari hulu ke hilir, termasuk warung-warung. Seperti diketahui entah atas dasar apa sejak beberapa tahun terakhir ini perusahaan minyak asing (Shell dan Petronas) boleh buka “kios” eceran –SPBU- di Indonesia. Ini berarti asing diizinkan menguasai perminyakan dari hulu (ekplorasi) sampai ke hilir (jual barang jadi). Padahal sudah diketahui Pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak di bumi nusantara ini, sepenuhnya dikuasai negara dan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Perlu dicatat bahwa minyak mentah yang berada di perut bumi negeri ini adalah milik rakyat tanpa pandang bulu baik kaya maupun miskin. Pemerintah c/q Pertamina hanya diamanatkan rakyat untuk mengelolanya dengan baik demi kesejahteraan bangsa. Di mana, jika hasil kelolaannya harus ditebus oleh rakyat dengan basis harga keekonomian atau pasar bebas tentu rakyat akan menjerit, lantaran imbasnya akan memicu harga barang lainnya jadi meroket. Oleh karenanya, perlu subsidi atau bantuan dari pemerintah. Apa pun alasannya, mencabut subsidi BBM akan berimplikasi memberatkan ekonomi masyarakat, terutama lapisan bawah. Menurut Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Wilayah Jawa Timur, beralih dari BBM ke BBG atau energi alternatif lainnya untuk transportasi adalah pilihan yang mau tidak mau ke depannya harus dilaksanakan. Karena, kekayaan alam berupa minyak bumi–energi fosil-cadangannya semakin menipis. Pemerintah menyadari bahwa tidak seluruh pemilik mobil pribadi akan mampu membeli BBM nonsubsidi. Oleh sebab itu, Menteri ESDM mengimbau agar masyarakat yang demikian beralih saja ke BBG dan atau berpaling menggunakan transportasi umum yang lebih murah. Ide ini aneh. Masyarakat bukannya tidak mau, namun tahu sendiri, apa sarana dan prasarana untuk itu semua sudah tersedia dengan memadai? Ibaratnya, orang lagi lapar ditawari makan, tapi makanannya tidak tersaji, bisa ngamuk mereka. Jadi seyogianya pemerintah mengadopsi slogan Perum Pegadaian, “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Kebijakan pembatasan hanya menguntungkan SPBU asing. Beberapa kemungkinan buruk yang terjadi jika pemerintah melakukan pembatasan dengan cara mengalihkan pemakaian BBM ke pertamax. Pertama, SPBU asing akan mendominasi di Indonesia. Sebab, pertamax di dalam negeri tak akan mampu menggantikan jumlah premium yang beredar di masyarakat. Pengguna akan beralih membeli BBM ke SPBU asing yang harga jualnya sedikit lebih murah dan citranya memberikan kualitas dan pelayanan lebih bagus. Kedua, pembatasan premium untuk kendaraan golongan tertentu akan menyebabkan lonjakan sepeda motor dua kali lipat. Pemerintah merencanakan premium hanya untuk kendaraan plat kuning dan sepeda motor. Saat ini, porsi sepeda motor menikmati BBM subsidi mencapai 30 persen. Ketiga, penyalahgunaan BBM subsidi. Jika BBM subsidi dibatasi hanya untuk kendaraan transportasi umum, maka terjadi penyalahgunaan fungsi. Sederhananya, sopir-sopir angkutan umum lebih tertarik menjadi penjual premium dibandingkan menarik angkutan umum. Mereka akan membuka kios-kios BBM subsidi baru yang berikutnya berakibat tujuan pengalokasian BBM subsidi tak tercapai. Ironisnya, kilang minyak milik Indonesia tapi hanya bisa mengelola minyak asing. Sebagai contoh kilang minyak Pertamina yang terletak di Cilacap tidak bisa mengelola minyak bumi yang dihasilkan oleh ladang di Indonesia. Hal itu disebabkan sejak awal kilang tersebut dirancang untuk mengolah minyak mentah dari Timur Tengah. Ini memang ironis karena kilang Cilacap sangat strategis. Di tempat itulah diproduksi bahan bakar yang menyuplai 44 persen kebutuhan energi nasional, di antaranya 75 persen di Pulau Jawa. Salah satu penyebab berubahnya status Indonesia dari pengekspor menjadi pengimpor minyak adalah tidak mencukupinya fasilitas kilang minyak yang mampu mengolah minyak dalam negeri. Saat ini, setiap harinya Indonesia mengekspor 900 ribu barel minyak mentah ke berbagai negara sementara total impor barang yang sama adalah 1,4 juta barel per hari. Kilang Cilacap memang sejak awal dirancang untuk mengolah jenis minyak yang dihasilkan dari ladang di Timur Tengah, tujuannya agar kilang itu bisa memproduksi bukan hanya bahan bakar minyak, namun juga produk bukan BBM seperti aspal dan pelumas. Mengingat kenaikan konsumsi bahan bakar yang terus tumbuh 3,5 persen per tahun, maka pemerintah segera membangun kilang minyak yang bisa mengolah minyak bumi dalam negeri untuk memastikan ketahanan energi nasional. Sebanyak 30 persen kebutuhan bahan bakar di negara kita dipenuhi dari impor. Dengan kenaikan konsumsi akibat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas industri, produksi minyak dalam negeri harus ditingkatkan jika kita tidak mau terus bergantung. Sampai saat ini terdapat 10 kilang minyak di Indonesia dengan tujuh di antaranya dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara PT Pertamina. Ironisnya, kebanyakan minyak yang diproduksi dari ladang Indonesia justru diekspor ke luar negeri.
SPBU asing tertawa, rakyat kecewa
JAKARTA. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi milik Pertamina menjadi Rp 10.200 (Pertamax) di 1 April 2012 membuat jarak yang semakin lebar antara BBM bersubsidi dan non subsidi. Di sisi lain SPBU asing yang juga menjajakan produk nyaris sama dengan Pertamina, tak banyak mengubah harga. Pakar Energi ITS Syariffuddin Mahmudsyah mengatakan, upaya untuk negeri kita bisa bebas subsidi bahan bakar minyak (BBM) juga berarti memaksa bangsa Indonesia untuk konversi penggunaan BBM ke dalam produk-produk asing. Berikut ini penuturan Syariffuddin Mahmudsyah selengkapnya kepada Kontan Senin (2/4) SPBU milik Chevron, Shell, Petronas akan merajalela di negeri ini. Dari sini terlihat jelas, jika harga BBM dinaikkan, siapa yang dirugikan dan siapa sebaliknya yang diuntungkan. Hingga saat ini, sebanyak 40 perusahaan asing sudah memegang izin prinsip pendirian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Masing-masing perusahaan memiliki hak mendirikan 20.000 SPBU. Itu artinya, sejumlah 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Bayangkan, nantinya seluruh kebutuhan minyak harus dibeli di perusahaan asing dan asing akan menguasai seluruh produksi Indonesia dari hulu ke hilir, termasuk warung-warung. Seperti diketahui entah atas dasar apa sejak beberapa tahun terakhir ini perusahaan minyak asing (Shell dan Petronas) boleh buka “kios” eceran –SPBU- di Indonesia. Ini berarti asing diizinkan menguasai perminyakan dari hulu (ekplorasi) sampai ke hilir (jual barang jadi). Padahal sudah diketahui Pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak di bumi nusantara ini, sepenuhnya dikuasai negara dan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Perlu dicatat bahwa minyak mentah yang berada di perut bumi negeri ini adalah milik rakyat tanpa pandang bulu baik kaya maupun miskin. Pemerintah c/q Pertamina hanya diamanatkan rakyat untuk mengelolanya dengan baik demi kesejahteraan bangsa. Di mana, jika hasil kelolaannya harus ditebus oleh rakyat dengan basis harga keekonomian atau pasar bebas tentu rakyat akan menjerit, lantaran imbasnya akan memicu harga barang lainnya jadi meroket. Oleh karenanya, perlu subsidi atau bantuan dari pemerintah. Apa pun alasannya, mencabut subsidi BBM akan berimplikasi memberatkan ekonomi masyarakat, terutama lapisan bawah. Menurut Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Wilayah Jawa Timur, beralih dari BBM ke BBG atau energi alternatif lainnya untuk transportasi adalah pilihan yang mau tidak mau ke depannya harus dilaksanakan. Karena, kekayaan alam berupa minyak bumi–energi fosil-cadangannya semakin menipis. Pemerintah menyadari bahwa tidak seluruh pemilik mobil pribadi akan mampu membeli BBM nonsubsidi. Oleh sebab itu, Menteri ESDM mengimbau agar masyarakat yang demikian beralih saja ke BBG dan atau berpaling menggunakan transportasi umum yang lebih murah. Ide ini aneh. Masyarakat bukannya tidak mau, namun tahu sendiri, apa sarana dan prasarana untuk itu semua sudah tersedia dengan memadai? Ibaratnya, orang lagi lapar ditawari makan, tapi makanannya tidak tersaji, bisa ngamuk mereka. Jadi seyogianya pemerintah mengadopsi slogan Perum Pegadaian, “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Kebijakan pembatasan hanya menguntungkan SPBU asing. Beberapa kemungkinan buruk yang terjadi jika pemerintah melakukan pembatasan dengan cara mengalihkan pemakaian BBM ke pertamax. Pertama, SPBU asing akan mendominasi di Indonesia. Sebab, pertamax di dalam negeri tak akan mampu menggantikan jumlah premium yang beredar di masyarakat. Pengguna akan beralih membeli BBM ke SPBU asing yang harga jualnya sedikit lebih murah dan citranya memberikan kualitas dan pelayanan lebih bagus. Kedua, pembatasan premium untuk kendaraan golongan tertentu akan menyebabkan lonjakan sepeda motor dua kali lipat. Pemerintah merencanakan premium hanya untuk kendaraan plat kuning dan sepeda motor. Saat ini, porsi sepeda motor menikmati BBM subsidi mencapai 30 persen. Ketiga, penyalahgunaan BBM subsidi. Jika BBM subsidi dibatasi hanya untuk kendaraan transportasi umum, maka terjadi penyalahgunaan fungsi. Sederhananya, sopir-sopir angkutan umum lebih tertarik menjadi penjual premium dibandingkan menarik angkutan umum. Mereka akan membuka kios-kios BBM subsidi baru yang berikutnya berakibat tujuan pengalokasian BBM subsidi tak tercapai. Ironisnya, kilang minyak milik Indonesia tapi hanya bisa mengelola minyak asing. Sebagai contoh kilang minyak Pertamina yang terletak di Cilacap tidak bisa mengelola minyak bumi yang dihasilkan oleh ladang di Indonesia. Hal itu disebabkan sejak awal kilang tersebut dirancang untuk mengolah minyak mentah dari Timur Tengah. Ini memang ironis karena kilang Cilacap sangat strategis. Di tempat itulah diproduksi bahan bakar yang menyuplai 44 persen kebutuhan energi nasional, di antaranya 75 persen di Pulau Jawa. Salah satu penyebab berubahnya status Indonesia dari pengekspor menjadi pengimpor minyak adalah tidak mencukupinya fasilitas kilang minyak yang mampu mengolah minyak dalam negeri. Saat ini, setiap harinya Indonesia mengekspor 900 ribu barel minyak mentah ke berbagai negara sementara total impor barang yang sama adalah 1,4 juta barel per hari. Kilang Cilacap memang sejak awal dirancang untuk mengolah jenis minyak yang dihasilkan dari ladang di Timur Tengah, tujuannya agar kilang itu bisa memproduksi bukan hanya bahan bakar minyak, namun juga produk bukan BBM seperti aspal dan pelumas. Mengingat kenaikan konsumsi bahan bakar yang terus tumbuh 3,5 persen per tahun, maka pemerintah segera membangun kilang minyak yang bisa mengolah minyak bumi dalam negeri untuk memastikan ketahanan energi nasional. Sebanyak 30 persen kebutuhan bahan bakar di negara kita dipenuhi dari impor. Dengan kenaikan konsumsi akibat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas industri, produksi minyak dalam negeri harus ditingkatkan jika kita tidak mau terus bergantung. Sampai saat ini terdapat 10 kilang minyak di Indonesia dengan tujuh di antaranya dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara PT Pertamina. Ironisnya, kebanyakan minyak yang diproduksi dari ladang Indonesia justru diekspor ke luar negeri.