Spekulasi ENRG, dari no-risk menjadi full-risk



Harga minimum saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) Rp 50 per saham menjadi bagian strategi spekulasi banyak petaruh di bursa. Sebagian orang memaanfaatkan batasan minimum ini sebagai sarana iseng-iseng berhadiah menadah hoki.

Kalkulasi untung-ruginya sangat sederhana. Berhubung di bursa tak ada saham dengan harga kurang dari Rp 50 per saham, maka membeli saham-saham di harga mentok itu sama saja tanpa risiko. 

Hanya ada satu kemungkinan yang terjadi: harga naik! Bahkan persentase kenaikannya pun sangat lumayan, begitu naik Rp 1 langsung seolah sudah untung 2%. Bukan keuntungan kecil.


Kisah-kisah dahsyat menadah untung dari saham-saham berharga gocap-an ini sangat menggiurkan investor atau trader. Lo Kheng Hong, misalnya, pernah dikisahkan memborong saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pada harga sekitar Rp 50 per saham.

Bayangkan, betapa besar keuntungan yang dia peroleh pada Januari 2017 lalu saaat dia menjual saham BUMI ketika harganya menyentuh Rp 500-an per saham. Cuan seringgi 1.000% tentu sangat menggiurkan bahkan andai harus menanti selama setahun penuh sebelum memetiknya.

Dan petaka itu pun tiba

Sampai di sini, skenario membeli saham di harga mentok terkesan manis dan baik-baik saja. Risiko terbesar seakan hanya modal terparkir lama. 

Maklum, tak banyak orang yang berani nekat membeli saham "penghuni kerak bursa". Bahkan para pemiliknya pun banyak yang memilih lupa memilikinya.

Sampai, pada suatu saat, skenario cantik itu porak poranda oleh aksi korporasi bernama reverse stock split. Investasi tanpa risiko pada saham-saham gocap tiba-tiba berubah menjadi spekulasi penuh risiko.

Reverse stock split, sesuai namanya, adalah kebalikan dari stock split. Emiten mengurangi jumlah saham yang diperdagangkan dengan cara seolah "membendelnya". Sepuluh saham, misalnya, diringkas menjadi satu saham.

Sebagai konsekuensi atas pembendelan itu, harga saham pun seolah tiba-tiba melonjak. Saham yang semula hanya Rp 50 per saham, setelah reverse stock split dengan rasio 10 saham menjadi 1 saham (10:1), misalnya akan melonjak menjadi Rp 500 per saham.

Untungkah si pemilik saham saat hargnya naik otomatis? Tentu tidak! Nilai portofolionya tidak ikut berubah. Harga naik tapi jumlah saham berkurang secara proporsional.

Malah yang terjadi adalah tingkat risiko tiba-tiba melesat ke langit luar bisa. Mari kita hitung tingkat risiko yang muncul, pelan-pelan.

Ketika membeli saham dengan harga Rp 50 per saham, risiko boleh dianggap 0%. Sebab harga tak mungkin turun di bawah ambang batas minimal tersebut.

Ketika kemudian harga melonjak sepuluh kali lipat akibat reverse stock split dengan rasio 10:1, maka risiko pun meningkat 900%. Logikanya sederhana, harga saham yang telah meningkat menjadi Rp 500 per saham kini terpapar risiko anjlok hingga menjadi Rp 50 per saham lagi.

Pelajaran dari reverse stock ENRG

Petaka spekulasi akibat reverse stock split ini baru saja terjadi di bursa saham kita. Pekan lalu PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) melakukan reverse stock dengan rasio 8:1. Harga saham ENRG yang semula Rp 50 per saham pun langsung berubah menjadi Rp 400 per saham.

Tak sampai separo hari perdagangan usai reverse stock, Rabu (26/7) harga ENRG sudah anjlok sedalam 25% menjadi Rp 300 per saham. Jumat (28/7), harga ENRG tinggal Rp 170 per saham. Dalam tempo dua hari saham ini langsung ambrol sedalam 57,5%!

Sebenarnya banyak orang yang menyadari reverse stock akan menaikkan risiko seperti ini. Namun, dalam kasus ENRG, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh para spekulator. 

Selain saham ini tidak likuid lagi, kesempatan untuk melepaskan diri dari jebakan keserakahan sendiri tidak banyak. PT Energi Mega Persada baru mendapat restu reverse stock split pada 11 Juli 2017, hanya dua pekan sebelum pelaksanaan. Tak banyak yang bisa diperbuat pemilik saham publik untuk melepas saham yang harganya sudah di kerak bursa ini dalam tempo sesempit itu.

Lalu, salahkah orang membeli saham di harga kerak bursa? Pasti tidak ada jawaban tunggal atas pertanyaan itu? Beda mazhab investasi beda jawaban. Lain perguruan trading, lain kebijaksanaan. Beda derajat kenekatan, beda pula jawaban.

Namun, jika Anda berniat melakukan aksi menantang seperti ini pastikan bahwa saham tesebut benar-benar murah. Murah di sini tentu bukan karena harganya sudah mentok di ujung bawah, melainkan lantaran nilai perusahaannya seharusnya lebih tinggi daripada harga sahamnya.

Lo Kheng Hong pernah mengecap rezeki dahsyat dari saham gocap bukan karena nekat. Rezeki dia datang dari ketelatenan dan kejelian menghitung nilai perusahaan. 

   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hasbi Maulana