SPSI sebut 22.000 pekerja Riau terancam kena PHK



PEKANBARU. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Riau memperkirakan 22 ribu orang pekerja sektor Hutan Tanaman Industri di provinsi tersebut terancam kehilangan pekerjaan, dampak Permen LHK nomor P.17 tahun 2017 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.

"Pertama yang dikhawatirkan akan terjadi PHK besar-besaran. Dari HTI saja sekitar 22.000 orang menggantungkan hidup menafkahi keluarga," kata Ketua SPSI Riau, Nursal Tanjung kepada Antara di Pekanbaru, Selasa (23/5).

Permen LHK P.17 tahun 2017 merupakan salah satu dari aturan operasional dari PP nomor 57/2016 tentang perubahan atas PP nomor 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.


Peraturan baru ini menuai banyak kritik karena dianggap merugikan dunia usaha dan investasi karena pengusaha hutan tanaman industri dan kelapa sawit berpotensi kehilangan areal garapan. Akibatnya, dikhawatirkan akan terjadi pengurangan pekerja secara besar-besaran.

Untuk itu, SPSI Riau meminta pemerintah dapat mengkaji ulang regulasi tersebut secara jernih, dengan memperhatikan dampak-dampaknya secara luas.

"Apabila terjadi PHK besar-besaran, mau dikemanakan pekerja ini. Saya berharap pemerintah jangan jadikan pekerja sebagai alat, tapi jadikan aset untuk pembangunan," tuturnya.

Lebih jauh, ia turut mengkhawatirkan stabilitas di Provinsi Riau apabila regulasi tersebut memutuskan mata pencarian puluhan ribu pekerja. Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi peningkatan tindak kriminalitas serta terganggunya stabilitas, yang berujung pada menurunnya tingkat kepercayaan investor.

Sejauh ini, dia mengatakan telah berusaha berkomunikasi dengan Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman terkait hal tersebut. Namun, dia mengatakan pemerintah Provinsi Riau juga masih perlu menunggu keputusan dari Kementerian LHK.

Peraturan Menteri KLHK P.17 tahun 2017, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, di dalamnya mengatur tentang perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung ekosistem gambut.

Pada pasal 8e menyebutkan, perubahan areal tanaman pokok menjadi fungsi lindung, yang telah terdapat tanaman pokok pada lahan yang memiliki IUPHHK-HTI, tanaman yang sudah ada, dapat dipanen satu daur dan tidak dapat ditanami kembali.

Kemudian wajib dilakukan pemulihan dan dialokasikan sebagai kawasan fungsi lindung ekosistem gambut dalam tata ruang IUPHHK-HTI. Pasal di atas, membuat banyak pemegang IUPHHK-HTI berpotensi kehilangan sebagian area garapan.

Selanjutnya pada pasal 8G berbunyi, pemegang IUPHHK-HTI yang areal kerjanya di atas atau sama dengan 40 persen, ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung, dapat mengajukan areal lahan usaha pengganti (land swap) yang diatur dengan peraturan menteri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto