KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dinilai menjadi pilihan yang menarik dibandingkan obligasi jika mengacu
yield. Meski begitu, investor tetap perlu menyesuaikan dengan tujuan dan jangka waktu investasi. Berdasarkan data PHEI, dalam satu bulan terakhir
yield obligasi pemerintah dengan tenor satu tahun sedikit meningkat dari 6,1% ke 6,3%.
Yield obligasi korporasi rating AAA satu tahun juga meningkat dari 6,5% ke 6,7%. Sementara itu, penerbitan SRBI tenor satu tahun mengalami kenaikan imbal hasil yang ditawarkan dari 6,8% ke 7%. Fixed Income Analyst Pefindo, Ahmad Nasrudin mencermati bahwa
yield SRBI relatif mirip dengan yield obligasi korporasi. Namun demikian, dari sisi risiko, SRBI memiliki risiko yang serupa atau lebih rendah daripada obligasi pemerintah karena diterbitkan oleh bank sentral.
"Sehingga, berdasarkan
risk-adjusted return, maka SRBI lebih menarik daripada obligasi korporasi maupun obligasi pemerintah," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11). Meski begitu, Ahmad menegaskan bahwa pilihan juga tergantung pada target
return, toleransi risiko, dan horizon investasi.
Baca Juga: Pekan Pertama November, Aliran Modal Asing Hengkang Rp 10,23 Triliun Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management (Sucor AM) Alvaro Ihsan melanjutkan masing-masing instrumen memiliki karakteristik masing-masing. Misalnya, SRBI cenderung merupakan produk pasar uang yang memiliki jatuh tempo di bawah satu tahun. Di sisi lain, obligasi pemerintah memiliki beragam seri dengan jatuh tempo yang lebih beragam, serta lebih likuid. Walaupun memang, investor tetap harus melihat potensi risiko pergerakan harga dari pergerakan suku bunga
(interest rate risk). Sementara itu, obligasi korporasi juga menawarkan
yield yang lebih atraktif. "Namun, investor harus memperhatikan fundamental perusahaan maupun rating kredit dari obligasi korporasi tersebut," sebutnya. Karenanya, investor disarankan memiliki preferensi investasi sesuai dengan profil risiko maupun jangka waktu investasi.
Baca Juga: Peluang & Tantangan Pasar Obligasi Dalam Negeri Usai Kemenangan Donald Trump Alvaro juga menilai kendati alami peningkatan
yield belakangan ini, akan surut dengan pemangkasan suku bunga. Teranyar, the Fed memangkas suku bunga sebesar 25b basis poin (bps) dan diekspektasikan berlanjut di Desember dengan besaran yang sama. Lalu, produk domestik bruto (PDB) Indonesia di kuartal III yang kurang sesuai ekspektasi mendorong urgensi penurunan BI Rate membantu pertumbuhan konsumsi apabila kurs Rupiah kembali stabil. Dus, harga obligasi kembali meningkat. Sumber Kontan.co.id dari pasar modal dan keuangan menambahkan bahwa SRBI cenderung tidak ada kepastian dalam hal penerbitan. Sebab, penerbitan SRBI lebih kepada respons BI terhadap pergerakan rupiah. "Melihat tahun ini rupiah yang melemah, jadi
issuance SRBI besar dan jika rupiah sudah stabil maka
issuance SRBI akan mengecil," sebutnya.
Baca Juga: Riuh Sentimen, Dana Pensiun Atur Strategi Dia mencontohkan pada Agustus-September, BI lebih banyak membiarkan SRBI
mature dibandingkan menerbitkan yang baru. Sehingga secara
net issuance negatif karena lebih banyak yang
mature. Penerbitan SRBI juga dinilai tak serta-merta mendorong peningkatan
yield obligasi korporasi, khususnya yang satu tahun. "Secara tren penerbitan SRBI membuat korporasi harus menawarkan
yield yang premium, tetapi apakah ini menyebabkan
yield obligasi korporasi jadi tinggi, saya rasa tidak juga karena likuiditas investor itu masih besar dan itu tidak serta-merta semua akan terserap melalui SRBI," paparnya.
Di sisi lain, obligasi korporasi imbal hasilnya juga masih di atas acuan obligasi pemerintah, terutama dengan rating AAA sehingga masih ada potensi menarik investor. Apalagi, penerbitan obligasi untuk rating tersebut dipandang tidak ada masalah kendati cost of fund yang lebih tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati