KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah berjuang melawan pandemi Covid-19 selama kurang lebih tiga tahun berjalan, Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat ada buah manis dari perjuangan ini. Luka akibat pandemi Covid-19 yang menyayat dunia pun tampak mulai mengering. Namun, Sri Mulyani bilang, dunia termasuk Indonesia, masih perlu waspada karena risiko masih membayang prospek perekonomian. Menurutnya, ada pergeseran risiko dari pandemi Covid-19 menjadi ketidakpastian global. “Ini disebut risiko perekonomian bergeser dari yang tadinya mengancam paling utama adalah pandemi, sekarang bergeser menjadi risiko finansial lewat penyesuaian kebijakan dan lonjakan inflasi dunia yang tinggi,” tutur Sri Mulyani dalam paparan APBN KiTa Juli 2022, Kamis (11/8).
Sri Mulyani pun memerinci risiko yang dimaksud.
Pertama, lonjakan inflasi global yang disebabkan oleh kondisi geopolitik yang eskalatif. Ketegangan geopolitik masih panas di Rusia dan Ukraina. Belum lagi ada ancaman baru, yaitu ketegangan antara China dan Taiwan yang kembali membara usai kunjungan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi.
Baca Juga: Dukung Perkembangan Bisnis UMKM, Sri Mulyani Lakukan Hal Ini Menurutnya, ini akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi rantai pasok. Di saat negara-negara mulai pulih dan mengalami peningkatan permintaan, suplai tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Sehingga, inflasi global dikhawatirkan melonjak. “Kalau dilihat negara-negara lain sudah mengalami inflasi yang tinggi. Seperti kita lihat, inflasi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) bahkan menyentuh level tertinggi dalam 40 tahun terakhir,” jelasnya.
Kedua, adanya pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga kebijakan bank-bank sentral di negara maju. Ini juga sehubungan dengan inflasi yang meningkat, sehingga ada respon kebijakan moneter lewat pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga. Pengetatan likuiditas negara maju bakal membawa dampak rambatan terhadap pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, volatilitas pasar keuangan menjadi naik dan terjadi hengkangnya arus modal asing dari pasar negara berkembang dan tekanan nilai tukar.
Baca Juga: Sri Mulyani: Pasar Modal Teruji Hadapi Berbagai Peristiwa Sejarah Ekonomi Indonesia Ketiga, potensi krisis utang global. Sehubungan dengan keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang, maka akan menimbulkan tekanan pada nilai tukar juga. Ini pun menjadi momok bagi negara-negara dengan tingkat utang di atas 60% produk domestik bruto (PDB) dan yang mendekati 100% PDB.
Menurut Bendahara Negara itu, negara-negara ini akan menanggung lonjakan biaya utang. Bahkan, bila menilik data dari Dana Moneter Internasional (IMF), ada 60 negara yang terancam mengalami
default atau gagal bayar utang gara-gara risiko biaya utang dan risiko
refinancing yang naik tajam.
Keempat, dengan inflasi yang tinggi dan banyaknya risiko, maka negara-negara di dunia berpotensi mengalami pelemahan kondisi ekonomi. Kondisi inilah yang disebut dengan stagflasi. “Jadi, inflasi yang tinggi, pengetatan suku bunga, akan memperlemah kondisi ekonomi dunia. Ini adalah kombinasi yang rumit dan bahaya bagi para pembuat kebijakan dan bagi perekonomian,” tandas Sri Mulyani. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari