Sri Mulyani jelaskan pajak, Tere Liye absen



KONTAN.CO.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumpulkan 430 pelaku industri kreatif seperti penulis buku, penerbit, musisi, pengamat musik, dan lainnya untuk berdialog mengenai pajak. Dialog itu diselenggarakan usai adanya keluhan soal pajak dari seorang penulis buku bernama Tere Liye. 

Namun demikian, Tere Liye tidak terlihat hadir dalam kerumunan itu. "Acara ini merupakan ide spontan, tapi pemicunya (Tere Liye) tidak hadir,” kata Sri Mulyani di Gedung Ditjen Pajak Pusat, Jakarta, Rabu malam (13/9).

Selanjutnya, ia mengatakan, dari keluhan Tere Liye tersebut, ia menyadari bahwa itu adalah sebuah masalah bagi semua pelaku industri kreatif. Namun di sisi lain, pajak sangat penting bagi negara ini. “Jadi saya duduk, mikirin di kamar mandi, bagaimana caranya berkomunikasi (soal pajak),” ujarnya.


Sri Mulyani bilang, pengumpulan pajak yang dilakukan oleh negara merupakan amanat UU. Oleh karena itu, profesi apapun yang tidak di bawah PTKP wajib bayar pajak, “Negara berhak memungut atau mengumpulkan sumber daya berdasarkan Undang-undang. Kita negara merdeka, tapi bukan berarti merdeka tidak membayar pajak," ucapnya.

Menurut Sri Mulyani, para penulis bisa memilih untuk melakukan pembukuan atau melalui Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) jika pendapatannya kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun. NPPN ini besarnya 50% dari pendapatannya.

Jika pendapatan asli seorang penulis Rp 3 miliar per tahun, maka dengan NPPN, pendapatannya menjadi Rp 1,5 miliar. Namun, penulis harus memberitahukan ke Ditjen Pajak atau ke KPP terkait penggunaan NPPN tersebut pada tiga bulan pertama di tahun pajaknya, atau sebelum 31 Maret.

Contoh lainnya, misalnya seorang penulis yang menjual buku seharga Rp 25.000 per buku. Setiap triwulan, angka penjualan bukunya berbeda. Pada triwulan I misalnya terjual 20.000 eksemplar, triwulan II terjual 25.000, triwulan III terjual 30.000 eksemplar, dan triwulan IV terjual 35.000 eksemplar.

Jika dalam setahun berhasil terjual 110 ribu eksemplar misalnya, dengan omzet Rp 2,75 miliar. Maka, penulis menerima royalti 10% dari omzet tersebut atau sebesar Rp 275 juta. Ini disebut sebagai penghasilan bruto. Maka PPh pasal 23 akan dikenakan sebesar Rp 41,25 juta.

Namun, angka omzet Rp 257 juta itu bisa dikalikan lagi dengan NPPN yang sebesar 50% sehingga yang dikenai pajak hanya Rp 137,5 juta. Jumlah tersebut juga akan dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang sebesar Rp 54 juta. Maka, ketemu angka Rp 83,5 juta.

Nah, Rp 83,5 juta ini kemudian dikalikan lagi dengan tarif progresif yang besarannya ada dalam Pasal 17. Karena angkanya Rp 83,5 juta, dia bisa dikalikan sesuai dengan tarif progresifnya. Hasilnya akan dikurangi lagi dengan kredit pajak dari PPh PPh pasal 23-nya yaitu sebesar Rp 41,25 juta.

“Kalau begini bisa lebih bayar malah. Anda ke kantor pajak bukannya bayar pajak, tetapi minta uang dikembalikan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati