KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum habis strategi, Ditjen Pajak masih punya cara mengejar kekurangan penerimaan pajak tahun ini. Salah satu yang diharapkan untuk penerimaan pajak di sisa tahun ini adalah dinamisasi penerimaan. Praktiknya sekilas memang mirip praktik dengan ijon, tetapi ini berbeda. Dinamisasi sendiri hanya soal besaran angsuran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 saja, yang harus dibayar wajib pajak (WP) setiap bulannya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dirinya dengan tegas melarang adanya ijon. Hal ini, menurut Sri Mulyani, melanggar Undang-undang.
“Saya melarang ijon sejak saya kembali ke RI. Karena itu tidak fair, dan merusak basis data perpajakan kita. Jadi saya tekankan, kalau dunia usaha merasa didatangi aparat pajak kita dan mereka minta ijon, laporkan ke saya,” kata Sri Mulyani di kantornya, Jumat (16/11). Ia mengatakan, dalam mengumpulkan target penerimaan pajak untuk 2017 ini, Ditjen Pajak telah melakukan identifikasi melalui basis berapa penerimaan pajak yang berasal dari hal normal, seperti dari bendahara negara maupun berdasarkan kegiatan WP yang membayar pajak secara reguler dan track record-nya diketahui. “Maka kami identifikasi potensi di atas baseline. Pertama data dari amnesti pajak kemarin. Kan itu menunjukkan ada data baru. Jadi kami identifikasi potensi penerimaan pajak yang memang selama ini sudah teridentifikasi tapi tidak terkoleksi. Jadi saya tidak melakukan ijon,” ucapnya. Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, yang dilakukan oleh fiskus adalah intensifikasi, tapi bukan melakukan ijon. “Kalau kami tahu ada PPh di beberapa sektor tertentu, kami akan lihat. kami hanya melakukan pengumpulan pajak sesuai kewajiban. Kalau ada dinamisasi dan optimalisasi, karena kami melihat potensi itu ada. Itu bukan alat untuk memeras pajak,” jelasnya. Sebelumnya, Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan DJP Yon Arsal menjelaskan, hal ini wajar untuk dilakukan. Dinamisasi sendiri bisa dilakukan jika dalam tahun pajak berjalan, WP mengalami peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25. “Dasar hukumnya adalah Keputusan Dirjen Pajak nomor 537 tahun 2000 tentang penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu. Terdapat pada pasal 7 ayat 4, ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/11). Nah, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut, harus dihitung kembali oleh WP atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Sebab, pada dasarnya perubahan keadaan kegiatan atau usaha dari WP merupakan hal wajar.
Dalam hal ini, kondisi-kondisi tertentu itu dapat secara drastis meningkatkan laba ataupun sebaliknya yang mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25. Menurut Yon, jika dalam tahun pajak berjalan terjadi penurunan omzet, maka WP Badan dapat mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi adalah laba WP dalam tahun pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya angsuran nilai PPh Pasal 25 dapat dihitung kembali supaya bisa mencerminkan kondisi sebenarnya. “Extra effort ada pengawasan penagihan, pengawasan termasuk di dalamnya dinamisasi, karena ini perlu effort untuk analisis laporan keuangan, diskusi dengan WP, belum tentu dia oke saja. Ada alasan masing-masing,” ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto