KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas kinerja pengawasan dan pemeriksaan kewajiban perpajakan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tahun 2013-2016 menemukan banyak permasalahan yang berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 2,1 triliun. Namun, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak membantah hal itu akibat lemahnya kinerja. Ditjen Pajak mengklaim pegawai pajak sudah bekerja sesuai aturan dan sistem perpajakan yang ada. Aturan itu pula yang membuat banyak penagihan pajak belum selesai dilakukan. Bahkan menurut Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, audit BPK adlah audit rutin sehingga tidak perlu diinterpretasikan macam-macam. "Jangan dikaitkan ke mana-mana,
wah pemeriksaan pajaknya jelek. Tidak. Sudah biasa," kata Ken di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Selasa (31/10).
Terkait adanya pajak yang tidak tertagih, Ken memastikan hal itu bukan karena keteledoran anak buahnya. Pegawai pajak memang belum menagih karena masih adanya keberatan dari sisi wajib pajak (WP) terkait. Oleh karena itu, Ditjen Pajak harus menunggu sampai memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht. "Kalau dia keberatan, itu bayar setengahnya dulu. Menunggu sampai
inkracht dulu baru dibayar. Hasil temuan BPK pasti kami tindaklanjuti tapi karena WP-nya masih upaya hukum, ya kami tunggu, jelas Ken yang akan pensiun akhir tahun ini. Sesuai Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, (KUP) proses peradilan pajak hingga inkracht bisa membutuhkan waktu selama tiga tahun. "Itu pengadilan pajak sampai dengan ke Mahkamah Agung (MA). Jadi, tidak ada masalah dengan (audit) BPK," terang Ken. Seperti diketahui, laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap seluruh jenjang struktur Ditjen Pajak menemukan 13 masalah di internal kantor pajak yang berpotensi merugikan keuangan negara. Salah satunya dalam pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN). BPK menemukan ada PPN senilai Rp 910,07 miliar yang belum dipungut. Jumlah itu belum termasuk sanksi administrasi bunga senilai Rp 538 miliar dan denda keterlambatan pembayaran senilai sekitar Rp 117,7 miliar. Dari hasil audit tersebut, BPK mengajukan 11 rekomendasi kepada Dirjen Pajak. Salah satunya rekomendasinya adalah untuk segera menagih pajak-pajak yang belum dibayarkan tersebut. Adapun menurut BPK, nilai kerugian yang telah diaudit ini berpeluang meningkat lagi. Sebab BPK belum menerima sebagian data dan dokumen yang diperlukan dalam proses audit kali ini. Tanpa gaduh Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memastikan untuk menindaklanjuti hasil audit BPK dan memungut semua pajak yang belum tertagih. Itu bisa membantu mengejar target pajak tahun ini. Mengingat, realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2017 sekitar Rp 882,8 triliun, masih jauh dari target tahun ini sebesar Rp 1.283,57 triliun. Sri Mulyani menyadari, sisa target pajak masih sangat besar untuk dicapai dalam dua bulan mendatang. Oleh karena itu, ia meminta semua kantor pelayanan pajak (KPP) untuk bekerja keras mengejar target penerimaan. Namun, ia juga mengingatkan agar kinerja pajak tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Terutama dalam pemeriksaan pajak, diharapkan tidak menimbulkan kegaduhan. "Hanya bisa dilakukan kalau data-datanya bagus,
approach-nya profesional sehingga WP itu memahami kalau ada data dan bukti yang bagus, mereka akan memahami kewajiban pembayaran pajaknya," jelas Sri Mulyani. Sri Mulyani juga menegaskan, secara umum pengaruh amnesti pajak masih terasa sampai akhir tahun sehingga targetnya mesti diteliti lagi. Walau begitu, dia bilang, penerimaan pajak tanpa amnesti pajak menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan didukung oleh ekonomi yang menunjukkan tren positif. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, tunggakan pajak bisa menambah penerimaan negara. Namun, selama ini banyak tunggakan pajak yang tidak tertagih akibat lemahnya manajemen. "
Problem klasiknya ya manajemen utang yang belum didukung sistem karena warisan masa lalu," kata Yustinus. Karena itu pembenahan perlu dilakukan. Perusahaan nakal asal Jepang MESKI sempat menimbulkan kegaduhan, langkah Ditjen Pajak melakukan upaya penegakan hukum atau
law enforcement, termasuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan ke wajib pajak nakal tak akan terhenti. Diperkirakan, tindakan ini menyeret lebih dari 100 perusahaan, termasuk badan usaha milik investor asing. Sumber KONTAN menyebut, salah satu perusahaan asing itu adalah milik investor Jepang di sektor teknologi. Menurutnya perusahaan itu patuh dan tidak melakukan transaksi dengan faktur fiktif. Namun ada salah satu supplier yang terindikasi menerbitkan faktur fiktif. Ditjen Pajak merahasiakan identitas perusahaan yang masuk dalam pemeriksaan bukti permulaan itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, Ditjen Pajak akan tetap menindaklanjuti bukti permulaan tersebut, tanpa membuat kegaduhan. Dia mengaku akan mengawasi kienerja aparat pajak bersama para awak Kemkeu dalam proses
law enforcement. "Tidak hanya satu direktur, Wamen (wakil menteri keuangan) pun mengawasi. Di dalam seluruh proses kami lakukan dengan
correct," jelas Sri Mulyani. Sesuai UU KUP, bukti permulaan bisa ditindaklanjuti dengan penyidikan. Namun, bisa juga dihentikan jika wajib pajak mengakui kesalahannya. Polemik Bukper yang melanda Dadang Suwarna POLEMIK
law enforcement pajak yang terjadi belakangan ini membuat Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Dadang Suwarna dikabarkan mengundurkan diri. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah, pengunduran diri Dadang berkaitan dengan pembatalan bukti permulaan (bukper) atau adanya tekanan internal antar aparat pajak.
Sri Mulyani mengatakan, masa tugas Dadang di Ditjen Pajak sudah selesai. Oleh karena itu, Dadang dikembalikan ke instansi asal ia bekerja sebelumnya, yakni Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pemulangan Dadang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 778 Tahun 2017 tanggal 24 Oktober 2017. "Itu beliau berasal dari instansi BPKP. Tugasnya di sini kami anggap sudah mencukupi, dan kami sudah bicara dengan BPKP untuk mengembalikan Pak Dadang," ujar Sri Mulyani, Selasa (31/10). Meski demikian, pemulangan Dadang ke BPKP ini patut dipertanyakan. Mengingat, kebijakan itu terkesan mendadak dan bersamaan dengan polemik
law enforcement yang dikeluhkan pengusaha. Selain itu, di internal Ditjen Pajak sendiri tidak satu suara untuk menjawab desas-desus pengunduran diri Dadang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia