Sri Mulyani: Ketidakpastian Ekonomi, Politik, Keamanan Global yang Dihadapi Sekarang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 khususnya di tingkat global ternyata tidak berjalan dengan mulus dan mudah. Hal ini karena komplikasi dari pemulihan ekonomi yang kemudian menimbulkan pilihan-pilihan kebijakan yang tidak mudah.

Menurutnya ketidaksinkronan pemulihan dari sisi permintaan dan ketersediaan barang secara globlal tidak sinkron. Pasalnya sejalan dengan ekonomi yang mulai pulih, permintaan masyarakat meningkat pesat karena sempat tertahan saat pandemi berlangsung, namun tidak seimbang dengan ketersediaan supply yang ada.

“Selain itu, munculnya geopolitik dan juga ancaman di kavling menimbulkan kompleksitas lingkungan ekonomi global. Bagi pembuat kebijakan pilihan-pilihan kebijakan di bidang fiskal moneter dan kebijakan ekonomi seperti perdagangan serta investasi menjadi semakin rumit,” tutur Sri Mulyani dalam agenda Green Economy Forum 2023: Realizing Sustainable Growth through Green Economy Commitment, Selasa (6/6).


Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Anjlok ke Level 50,3. Ini Biang Keroknya

Dia mengatakan, situasi yang tidak bersahabat tersebut kemudian membuat perekonomian dunia menjadi melemah. Sebab yang seharusnya pulih, justru mengalami perlemahan.

Pada  2023 ini, International Monetary Fund (IMF) menyebutkan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,8%, lebih rendah dari tahun lalu, yang pertumbuhan ekonominya belum pulih yaitu 3,4%.

Adpaun untuk tahun depan, meskipun diperkirakan akan ada pemulihan lebih baik, namun ketidakpastian juga sama tingginya seperti tahun ini.

“Inilah yang sedang kita hadapi. Bagaimana menavigasi kondisi perekonomian global, politik global, keamanan global dan hubungan antar negara yang ternyata tidak mulus dan tidak sinkron,” jelasnya.

Permasalahan lain, masih ada juga krisis atau potensi shock yang juga bisa mempengaruhi seluruh dunia yaitu pandemi, perubahan iklim, dan juga digital teknologi.

Meski begitu, Dia memastikan kondisi perekonomian Indonesia saat ini menunjukkan kinerja yang positif dan resilien. Hal ini terbukti dengan Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada lima kuartal berturut-turut.

“PMI manufaktur Kita juga dalam situasi ekspansi, meskipun kita juga melihat bulan Mei ini sudah sedikit menurun. Namun ini adalah situasi yang sangat langka karena sebagian besar negara-negara yang selama ini pertumbuhan ekonominya baik, mereka dihadapkan pada perlemahan pertumbuhan ekonomi, dan PMI-nya melemah,” tambahnya.

Baca Juga: Sri Mulyani Waspadai Fluktuasi Harga Minyak yang Dibayangi Ketidakpastian Global

Dari sisi stabulitas, inflasi di Indonesia juga bisa ditekan atau menurun padahal sedang melaksanakan hari raya Idul Fitri, yang mana secara musiman biasanya permintaan sangat tinggi dan bisa menciptakan dorongan terhadap kenaikan harga.

Kondisi nilai tukar rupiah juga cukup stabil. Rerata rupiah Indonesia pada tahun lalu terdepresiasinya sebesar 3,9%, dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia yang 6,2% depresiasinya atau India rupee yang turun 6,4%, Indoensia masih memiliki resiliensi dan daya tahan dari mata uang.

Kemudian, imbal hasil dari surat berharga negara juga masih relatif stabil, bahkan mengalami penurunan. Padahal, Amerika Serikat sebagai negara terbesar dunia sudah menaikkan suku bunga dalam 12 bulan terakhir dengan lebih dari 500 basis poin. Dengan kondisi tersebut, surat berharga negara Indonesia justru mengalami yield yang cenderung rendah.

“Dengan kinerja perekonomian Indonesia yang membaik, inflasi rendah, nilai tukar yang relatif stabil dan tentu prospek ekonomi yang masih positif kita mampu untuk menarik capital inflow baik di pasar saham maupun di surat berharga dan dalam bentuk foreign direct investment. Ini adalah situasi yang tidak biasa bagi banyak negara di dunia,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto