KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa selain ketidakpastian berbagai indikator perekonomian, perubahan iklim juga menjadi tantangan pembangunan yang perlu diwaspadai. Berbagai respon telah dilakukan pemerintah dalam rangka untuk mengatasi ancaman dari perubahan iklim, misalnya dengan berkontribusi dalam rangkaian kegiatan Conference Of The Parties (COP) United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) yang dibentuk sejak tahun 1992. Dalam hal ini, melatarbelakangi terbentuknya beberapa kesepakatan seperti Paris Agreement dan Glasgow Pacts.
“Di dalam rangka untuk terus berfokus kepada koalisi secara global dalam memerangi perubahan iklim, yaitu bagaimana dunia harus menghindari agar kenaikan suhu tidak melewati 1,5 derajat celcius dibandingkan pada masa revolusi industri. Dengan tekad yang lebih ambisius ini maka seluruh dunia harus berkontribusi,” tutur Sri Mulyani dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/12). Salah satu fokus yang dianggap memberikan kontribusi terhadap kenaikan CO2 terbesar terdapat pada sektor energi. Dalam hal ini, Indonesia berkomitmen menurunkan CO2 melalui Nationally Determined Contribution (NDC) yang sudah disampaikan dalam Paris
agreement bahwa Indonesia akan menurunkan 29% dengan menggunakan sumber daya sendiri, atau 41% dengan dukungan internasional.
Baca Juga: Soal Wacana Pemberian Subsidi Kendaraan Listrik, Begini Kata Sri Mulyani Dari sisi pembiayaan secara keseluruhan, Menkeu mengatakan bahwa estimasi biaya yang dibutuhkan hingga tahun 2030 mencapai Rp 4.002,43 triliun untuk bisa mencapai tingkat penurunan CO2 yang diharapkan. “Untuk bisa menjalankan program penurunan CO2 pasti kita membutuhkan dana yang tidak hanya berasal dari APBN, melainkan bagaimana mengkomparasikan antar negara
policy-policy mana yang bisa kita gunakan untuk menarik modal atau dana anggaran yang berasal dari sumber privat,” jelasnya. Lebih lanjut, Sri Mulyani menjelaskan peranan APBN dan instrumen fiskal dalam penanganan perubahan iklim ini dapat muncul dalam berbagai hal, salah satunya dalam melakukan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta teknologi bersih melalui berbagai kemungkinan pemberian insentif, seperti insentif perpajakan baik di pemerintahan pusat maupun daerah. Kementerian Keuangan juga melakukan berbagai inovasi pembiayaan di dalam rangka untuk mendukung pembangunan yang
sustainable atau SDG. Selain itu juga dengan mengeluarkan Green Sukuk, SDG Bonds, dan bahkan membentuk yang disebut Badan Layanan Umum untuk mengelola dana-dana untuk
climate change. “BPDLH adalah salah satu badan untuk pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dana reboisasi. Berbagai dukungan internasional kami juga masukkan disini,” terangnya.
Baca Juga: Sri Mulyani: UU PPSK Jadi Momentum Reformasi Sektor Keuangan Selain itu, Kementerian Keuangan juga memiliki Special Mission Vehicle (SMV) seperti PT SMI sebagai platform kerjasama pendanaan terintegrasi melalui skema
blended finance dalam SDG Indonesia one, serta Kementerian Keuangan juga ikut aktif di dalam Green Climate Fund (GCF) dimana Indonesia akan mengajukan berbagai proyek dan program penurunan CO2 untuk mendapatkan dukungan dari sisi pendanaan, teknikal dan teknologi. “Pembiayaan inovatif dalam bentuk
issuance atau penerbitan surat berharga yang green juga merupakan salah satu ciri Indonesia. Indonesia adalah
emerging country pertama yang menerbitkan Green Sukuk. Ini juga membangun reputasi Indonesia sebagai negara yang sangat inovatif di dalam pembiayaan,” ujar Sri Mulyani. Menurutnya, dengan Green Sukuk ini Indonesia bisa membiayai proyek energi terbarukan, efisiensi energi, pengolahan limbah, transportasi yang berkelanjutan
sustainable transport, serta berbagai Proyek lainnya yang sesuai dengan komitmen penerapan penurunan CO2. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari