JAKARTA. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani angkat bicara soal arah kebijakan fiskal untuk PT Freeport Indonesia yang sekarang memegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Menurut dia, persoalan yang ada bukan hanya pada masalah pajak saja karena kontrak dengan Freeport menyangkut banyak dimensi. Sri Mulyani mengatakan, yang sedang dibicarakan dalam tataran pemerintah adalah bagaimana di satu sisi memberikan kepastian lingkungan usaha, namun di sisi lain juga membela kepentingan RI. “Baik dari sisi penerimaan, dan penerimaan itu banyak sekali dimensinya. Ada pajak, ada royalti, ada PBB, ada juga iuran yang lain, dan juga dari sisi kewajiban mereka melakukan divestasi serta dari kewajiban mereka membangun smelter,” kata Sri Mulyani di Gedung Kementerian Keuangan, Senin (13/2).
Sebagaimana diketahui, Freeport per 10 Februari lalu resmi menjadi pemegang IUPK dari yang sebelumnya kontrak karya (KK) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Perubahan status menjadi pemegang IUPK itu menyusul keluarnya Peraturan Menteri Energi Nomor 6 Tahun 2016 turunan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang pada intinya hanya mengizinkan perusahaan tambang pemegang KK untuk melakukan ekspor konsentrat apabila berganti menjadi pemegang IUPK. Sebelum setuju berpindah menjadi pemegang IUPK, Freeport mengirimkan surat ke Kementerian ESDM guna meminta keringanan dan jaminan. Di antaranya adalah jaminan kepastian hukum serta kebijakan fiskal atau perpajakan yang sifatnya
nail down. Namun demikian, soal hal ini menurut Sri Mulyani perlu pengkajian dengan perhitungan yang menguntungkan, terutama kepada penerimaan negara sehingga aturan yang diberlakukan pemerintah tetap mencerminkan potensi peningkatan penerimaan negara. “Di dalam UU minerba, sudah diamanatkan bahwa apapun bentuk kerjasama antara pemerintah dengan para pengusaha, maka penerimaan pemerintah harus dijamin lebih baik,” katanya. Meski demikian di sisi lain, dirinya merasa perlu memberikan kepastian kepada para pengusaha karena sebagai perusahaan, Freeport harus bertanggung jawab kepada
shareholders-nya. Oleh karena itu, Sri Mulyani masih ingin membandingkan penerimaan negara dari Freeport saat masih berstatus KK dengan penerimaan bila perusahaan berstatus IUPK. “Kami dari Kemenkeu adalah dari sisi menghitung kewajiban dan membandingkannya antara KK yang selama ini dilakukan oleh Freeport dan berapa jumlah penerimaan negara berdasar KK itu, dengan apabila terjadi perubahan melalui apa yang disebut IUPK,” ucapnya. Namun demikian dirinya belum bisa memastikan akan seperti apa perhitungan fiskal dari dan untuk Freeport. "Dimensinya banyak sekali yang tadi saya sampaikan," ujarnya. Terpisah, Kepala BKF Suahasil Nazara mengatakan bahwa pihaknya belum diskusikan lebih jauh soal hal ini. Namun Suahasil mengatakan bahwa pemegang IUPK harus tunduk pada UU 4 2009 Minerba Pasal 128 tentang pertambangan mineral dan batubara di mana di mana pemegang IUP dan IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. “Nanti kan itu akan detil. Tapi ditingkat yang sekarang mengatakan semua kembali ke UU Minerba. UU Minerba mengatakan pemegang izin IUPK membayar penerimaan negaranya sesuai perundangan,” katanya. Dalam beleid tersebut, tercatat bahwa pendapatan negara terdiri dari penerimaan pajak dan PNBP. Penerimaan pajak diantaranya pajak yang menjadi kewenangan pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan bidang perpajakan, bea masuk dan cukai.
Sementara PNBP diantaranya iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi. Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan bahwa soal kebijakan fiskal bagi Freeport, Kemenkeulah yang berwenang sehingga dirinya menyerahkan hal ini kepada Menteri Keuangan. "Nanti biar Menteri Keuangan lihat mana yang bisa menganut ketentuan yang lama dan yang tidak. Ini dominannya domain seperti Peraturan Daerah (Perda) Pungutan," kata Jonan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto