Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan PDB RI Lebih Tinggi Dibanding Utang, Ini Kata Ekonom



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Center of Reform Economic (CORE) Mohammad Faisal mengkritisi perbandingan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait korelasi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan pertumbuhan utang. 

Dimana Sri Mulyani menyebut setiap penarikan utang sebesar US$ 1 oleh Indonesia akan meningkatkan pertumbuhan sebesar US$ 1,34 sehingga kenaikan PDB nominal kita lebih besar dari kenaikan utang.

Sebab, Sri Mulyani bercermin pada periode 2018-2022 lalu pertumbuhan PDB Indonesia sebesar US$ 276,1 miliar, nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan utang negara kita yang sebesar US$ 209 miliar.


Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan PDB RI Lebih Besar Dibandingkan Utang Selama 2018-2022

Menanggapi pernyataan Menkeu, Faisal menyatakan bahwa itu perbandingan kasar karena kita mesti menelusuri dulu apakah tambahan peningkatan PDB itu disebabkan oleh tambahan utang atau bukan.

Faisal pun mengkritisi faktor yang mendongrak PDB sepanjang 2018-2022 itu. Ia bilang di periode ini terjadi peningkatan karena ada faktor pandemi Covid-19, terutama sejak 2020.

Yang mana pada saat itu ada lonjakan harga komoditas pada 2021 sehingga itu banyak membantu peningkatan PDB.

Baca Juga: Ekonom Sebut Realisasi Belanja Daerah Perlu Ditingkatkan untuk Genjot Ekonomi

“Kalau harga komoditas yang banyak mendorong peningkatan ekspor, nah ini kan artinya bukan karena dorongan dari dalam, tapi dorongan eksternal. Jadi mau pake utang, mau gak pake utang itu gak ada hubungannya sama kenaikan harga komoditas,” ujar Faisal kepada Kontan, Selasa (30/5).

Lebih lanjut, ia bilang mungkin bakal berbeda kasusnya di sebelum pandemi, yakni 2018 dan 2019 karena dalam kondisi ini pertumbuhan ekonomi memang dipengaruhi banyak faktor, salah satu yang paling berpengaruh adalah faktor domestik sehingga pernyataan Menkeu terkait korelasi pertumbuhan utang dan PDB bisa relevan.

“Tapi kalau setelah pandemi, saya tidak yakin karena faktor daripada kenaikan harga komoditas atau faktor eksternal itu juga cukup besar,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli