Sri Mulyani Sebut-Sebut Bahaya Imperialisme Iklim, Apa Itu?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Imperialisme iklim dapat menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan dalam berbagai pertemuan global.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan imperialisme iklim terjadi jika aturan atau kebijakan hanya ditentukan beberapa negara saja. Dia berpendapat tidak ada negara yang bisa bersembunyi dan melindungi dirinya sendiri dari bencana iklim.

"Pertanyaannya, apakah kalian akan mewarisi kerusakan atau bahaya bagi generasi berikutnya? Yang menurut saya juga dapat dihitung. Tidak ada negara dan negara miskin yang pasti akan menjadi lebih miskin dan rentan," ucap dia saat sesi diskusi di Munich Security Conference 2023, Jumat (17/2).


Baca Juga: Sri Mulyani: Prinsip Adil Diterapkan Indonesia dalam Mekanisme Transisi Energi

Sri Mulyani menyebut imperialisme iklim akan menciptakan ketegangan geopolitik lain atau bisa membalikkan banyak kemajuan yang sedang dibuat.

"Oleh karena itu, saya setuju dalam hal itu bahwa setiap pertemuan Conference of The Parties (COP) diperlukan untuk menciptakan optimisme bahwa sense of progress itu ada. Sebab, jika tidak, tentu tidak ada forum lain yang benar-benar bisa mendapatkan kesepakatan secara global," ungkapnya.

Sri Mulyani menyampaikan apabila tanpa adanya pembahasan di forum global, tentu bahaya dari perubahan iklim akan begitu nyata.

Dia menyebut, pada tahun 2030, jika dunia tidak dapat menghindari kenaikan 1,5 derajat celcius atau bahkan makin buruk hingga dua derajat, dunia tentu akan berada di posisi yang berbahaya.

Terkait hal itu, cukup banyak negara di dunia yang menyampaikan narasi bahwa dalam jangka panjang semua akan mati.

"Jadi, hari ini saya memiliki kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan permasalahan itu dari berbagai sisi, termasuk tempat berlindung hingga energi. Dengan demikian, narasi jangka panjang itu dapat dikurangi, bahkan perlu diubah," ujarnya.

Sri Mulyani meyakini bahwa satu-satunya tempat untuk membuat kemajuan perubahan iklim, yakni melalui ruang lingkup global, seperti Munich Security Conference, G-20, atau forum lain.

Dia menerangkan saat momen G-20, Indonesia berupaya membuat kemajuan ketika pertemuan dengan berbagai pihak untuk banyak membahas tentang partisipasi sektor swasta di pasar karbon yang dinilai akan menjadi hal sangat penting. Sri Mulyani mengakui tidak mudah membuat kemajuan terkait hal itu.

Baca Juga: Sri Mulyani: Investor Jerman Apresiasi Kesuksesan Indonesia Atasi Pandemi Sementara itu, dalam menetapkan road map tersebut, dia mengakui ada tekanan kelompok, tetapi hal itu dinilai berdampak baik.

"Justru kami tidak menginginkan tekanan itu dianggap sebagai imperialisme baru. Oleh karena itu, banyak diskusi yang menjadi sangat kritis di antara para pembuat kebijakan, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Hal itu akan menciptakan lebih banyak kepercayaan sehingga kami dapat membuat solusi yang konkret," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat