Sri Mulyani: Setiap krisis, the real last resort adalah keuangan negara



KONTAN.CO.ID -JAKARTA.  Krisis akibat pandemi Covid-19 masih berlangsung. Pemerintah terus berupaya menarik ekonomi Indonesia agar tak terjerambab dalam krisis.

Demi menjaga ketahanan ekonomi dari krisis, negara selalu hadir menjadi penyelamat sekaligus penarik ekonomi. “Apapun penyebab krisis, ujungnya sama yakni negara hadir sebagai penyelamat dan penarik ekonomi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam acara  Peluncuran Buku 25 Tahun Kontan : Melintasi 3 Krisis Multidimensi, Minggu (24/10).

Kata Sri Mulyani, saat krisis terjadi, keuangan negara selalu mengalami beban paling besar, apapun latar belakang pemacu krisis.  


Pun saat tiga krisis terakhir yang terjadi pada tahun 1997/1988, 2008 dan tahun 2020 sebagai akibat pandemi Covid-19 tahun 2020. "Kalau Anda lihat, krisisnya beda-beda. Tapi ujungnya semuanya sama, keuangan negara yang mengalami beban paling besar. At the end, itu yang disebut the real last resort, itu selalu keuangan negara," kata Sri Mulyani.

Baca Juga: Sri Mulyani: Pasca Covid, ancaman krisis berikutnya bisa climate change dan disrupsi

Krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19, anggaran negara digelontorkan untuk meningkatkan ragam bantuan sosial (bansos) untuk warga miskin, mengguyur relaksasi pembayaran pajak untuk usaha kecil, menengah, serta mikro. Insentif juga diberikan untuk korporasi.

Dari sisi perbankan,  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga langsung memberikan relaksasi berupa keringanan pembayaran kredit melalui restrukturisasi kredit perbankan. Regulasi OJK ini didasarkan pada praktek regulator di luar negeri agar bank lebih resilient. 

"Lagi-lagi keuangan negara. Jadi negara hadir membantu neraca yang berjatuhan (neraca rumah tangga hingga neraca industri) untuk masyarakat yang tidak punya tabungan, kehilangan pekerjaan, kita naikkan bansos besar sekali, terutama kesehatan," tutur Sri Mulyani. 

Tanpa bantuan APBN,  kata Sri Mulyani, warga akan jatuh lebih dalam. Masyarakat tidak lagi memiliki sumber pendapatan ketika kegiatan ekonomi terpaksa berhenti akibat pandemi Covid-19. 

Ujungnya, perbankan bisa kesulitan. Jika ini terjadi, negara pula yang menanggung beban tersebut.

Berbeda dengan dua krisis sebelumnya, Indonesia dan negara-negara lain juga belajar. Adanya reformasi dari krisis sebelumnya, perbankan kini lebih kuat ketika pandemi Covid-19 menghantam yang berujung krisis. Ini ditandai dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio/ yang kuat, mencapai dobel digit.  "Maka (dalam krisis) yang ketiga ini bank sudah relatif kuat karena belajar dari dua krisis. Bank itu CAR tinggi, prudential regulationnya cukup sangat prudent," ujar dia. 

Menkeu juga menegaskan, pemerintah harus perlu mengejar pendapatan saat negara dan masyarakat dalam kondisi kuat dan sehat. 

Sebab, keuangan negara harus mampu mengantisipasi setiap ancaman krisis yang bisa saja terjadi. Pandemi bukanlah awal dan akhir dari krisis dunia.

Kata Menkeu, masih ada kemungkinan besar krisis-krisis lain datang kembali dalam beberapa tahun ke depan, termasuk perubahan iklim hingga disrupsi digital. 

"Saat ekonomi bagus, kita tetap harus akumulasi atau mengisi amunisi, defisit kita turunkan sehingga kita punya yang disebut fiscal space. Begitu terjadi hantaman, fiscal space itu bisa kita pakai dan manfaatkan," ujar Ani, panggilan karib Menkeu.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Titis Nurdiana