KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski situasi perekonomian Indonesia sudah relatif membaik, masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari guncangan perekonomian global, hingga tantangan perubahan iklim. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, berakhirnya pandemi Covid-19 bukan berarti tantangan yang akan kita hadapi ke depan menjadi semakin ringan. Menurutnya, perkembangan dinamika global yang sedemikian cepat pasca pandemi Covid-19, menciptakan kompleksitas yang berat dalam beberapa tahun ke depan. “Ada empat tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi perekonomian global ke depan,” kata Dia dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23, Jumat (19/5).
Empat tantangan tersebut di antaranya, pertama ketegangan geopolitik telah menjadi tantangan paling berat yang tengah kita hadapi saat ini. Meningkatnya tensi geopolitik ini menyebabkan perubahan signifikan arah kebijakan ekonomi negara-negara besar, menjadi lebih
inward looking. Akibatnya, dunia semakin terfragmentasi, tren globalisasi berubah menjadi deglobalisasi. Fenomena ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2017 ketika AS menerapkan kebijakan untuk mengembalikan sektor manufaktur ke dalam wilayahnya (
re-shoring), yang pada akhirnya memicu perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Baca Juga: Pemerintah Proyeksi Angka Kemiskinan pada Tahun 2024 Pada Rentang 6,5%-7,5% “Sejak saat itu, tensi perang dagang (
trade war) AS – Tiongkok terus berlangsung dan menimbulkan ketidakpastian yang tinggi,” jelasnya. Perang di Ukraina sejak awal tahun 2022 semakin mempertajam polarisasi dan
fragmentasi geopolitik global. Kerja sama ekonomi dan kemitraan strategis semakin terkotak-kotak (
fragmented) sesuai kedekatan aliansinya (
friendshoring). Akibatnya, aktivitas perdagangan dan aliran investasi global melambat. Negara-negara berkembang yang banyak bergantung pada pasar ekspor dan aliran modal luar negeri terkena dampak yang signifikan.
Fragmentasi geopolitik juga telah memicu fenomena dedolarisasi yang juga akan berdampak besar, baik pada perekonomian AS maupun stabilitas ekonomi global.
Kedua, cepatnya perkembangan teknologi digital. Di satu sisi, perubahan teknologi informasi yang cepat membawa manfaat bagi kehidupan manusia berupa meningkatnya efisiensi dan perluasan skala produksi. Namun, perubahan teknologi informasi juga menghadirkan tantangan berupa penghematan tenaga kerja manusia (labor saving) secara masif, persoalan privasi, dan keamanan siber (
cyber security). Cepatnya perkembangan digitalisasi dapat menjadi ancaman nyata bagi pasar tenaga kerja nasional yang masih didominasi tenaga kerja tidak terampil (
unskilled-workers) dengan pendidikan rendah. Jika tidak diantisipasi, tingkat pengangguran akan meningkat signifikan, terutama pada kelompok tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan rendah. Ketidaksiapan pasar tenaga kerja menghadapi cepatnya perkembangan digitalisasi juga akan menjadi kendala untuk menarik aliran investasi masuk ke Indonesia. Peranan teknologi digital yang krusial dalam berbagai aspek kehidupan juga telah menjadi salah satu pemicu eskalasi persaingan hegemoni AS - Tiongkok berupa kompetisi penguasaan industri semikonduktor (
chip war) yang saat ini didominasi oleh Taiwan.
Ketiga, tantangan perubahan iklim serta respons kebijakan yang mengikutinya. Perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi kesehatan, keselamatan, serta aktivitas ekonomi. Cuaca ekstrem hingga bencana alam yang sering terjadi, terkait erat dengan perubahan iklim.
Baca Juga: Tingkat Pengangguran Terbuka Ditargetkan Turun ke Level 5% di Tahun 2024 Kerugian yang ditimbulkan begitu besar, baik korban jiwa, hilangnya aset serta menurunnya aktivitas produksi, khususnya di sektor pertanian. Respons kebijakan mitigasi dan adaptasi oleh negara-negara maju terhadap perubahan iklim juga akan menimbulkan persoalan bagi banyak negara berkembang. Penerapan kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) di AS dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) di Uni Eropa berpotensi menjadi hambatan nontarif bagi arus perdagangan internasional dan investasi dari dan ke AS, termasuk semakin ketatnya ketersediaan pendanaan investasi bagi negara berkembang.
Keempat, Covid-19 telah menjadi bukti bahwa munculnya sebuah pandemi tidak bisa terelakkan. Meskipun kini pandemi Covid-19 sudah berakhir, namun kewaspadaan dan kesiap-siagaan perlu kita bangun dari sekarang mengingat dampak yang ditimbulkannya sangat besar. Selain itu, kita juga masih berjuang mengatasi dampak jangka panjang Covid-19, dalam bentuk scarring effect yang diperkirakan akan menahan kinerja pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Menurutnya, Selain ke-empat tantangan besar tersebut, saat ini, perekonomian global di tahun 2023 juga masih dihadapkan pada tekanan yang berat. Laju inflasi global diperkirakan belum akan kembali ke level normal periode prapandemi, sehingga suku bunga acuan global cenderung akan bertahan pada level yang tinggi dalam jangka waktu yang lama (higher for longer).
Sebagai konsekuensinya, kondisi likuiditas global masih akan ketat 9 sehingga cost of fund juga diperkirakan tetap tinggi. Di sisi lain, ruang kebijakan di banyak negara juga semakin terbatas dengan meningkatnya utang akibat pandemi. Gejolak perbankan di AS dan Eropa juga menambah risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global. Kombinasi dari masih ketatnya likuiditas global, terbatasnya ruang kebijakan di banyak negara, serta persoalan perbankan di AS dan Eropa menyebabkan prospek pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 cenderung lemah. IMF pada WEO April 2023 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 akan melambat signifikan ke level 2,8%, dari sebelumnya 3,4% di tahun 2022. Rilis data pertumbuhan PDB triwulan I di beberapa negara utama, khususnya Tiongkok yang hanya tumbuh 4,5% atau masih di bawah proyeksi IMF, meningkatkan pesimisme akan prospek ekonomi global tahun 2023. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari