Sri Mulyani Ungkap Banyak Negara yang Pilih-Pilih Mana Lawan Mana Kawan



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti fenomena yang mana suatu negara di dunia mengkotak kotakan yang mana teman dan yang mana lawan. 

Hal ini terjadi karena fragmentasi geopolitik, yang mana negara di dunia hanya akan memprioritaskan kemitraan ekonomi dengan sekutu yang kuat.

Misalnya saja terkait perdagangan. Menurutnya seharusnya prinsip perdagangan adalah saling menguntungkan, dan tidak menganut prinsip menang dan kalah. Akan tetapi, saat ini Ia melihat  proteksionisme atau proteksi perdagangan antar menjadi Tindakan sehari hari yang dilakukan di beberapa negara di dunia.


Untuk diketahui, proteksionisme merupakan kebijakan yang diambil suatu negara mengarah pada perlindungan ekonomi yang mengetatkan perdagangan atau membatasi persaingan dengan negara-negara lain melalui cara-cara pembatasan arus ekspor dan impor barang dan jasa seperti tarif barang impor, batas kuota, dan berbagai peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi ekonomi dalam negeri.

“Proteksionisme menjadi sebuah tindakan sehari-hari dan kita juga melihat tidak hanya masalah geopolitik dan keamanan yang menjadi faktor dominan dalam menentukan hubungan (antar negara), namun perang teknologi seperti The Cold War (perang dingin) teknologi juga menjadi salah satu penyebabnya,” tutur Sri Mulyani dalam agenda The 12th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED), Rabu (6/12).

Baca Juga: Sri Mulyani: Ekonomi Global Kompleks, dari Perang Dagang Hingga Konflik Geopolitik

Sri Mulyani mencontohkan terkait adanya fenomena Brexit (British Exit) yaitu keluarnya. Inggris dari keanggotaannya di Uni Eropa pada Juni 2016 lalu. Ia menyampaikan, fenomena tersebut tentunya tidak berdiri sendiri.

Hal ini disebabkan oleh adanya kesenjangan generasi, kesenjangan pendapatan, dan kesenjangan persepsi mengenai bagaimana dunia harus diatur, dan bagaimana suatu negara menyesuaikan posisinya.

“Jadi ini menciptakan apa yang kami sebut sebagai situasi yang terfragmentasi. Tidak lagi mengglobal, tidak lagi mengakomodasi aspirasi bahwa kita berbagi satu planet, kita berbagi satu dunia, dan kita berbagi satu kemanusiaan,” ungkapnya.

Sri Mulyani menyampaikan, berbagai permasalahan kompleks di atas, menjadikan suatu negara lebih mengkotak kotakan antara yang mana teman dan bukan.

Selain itu, terjadi juga fenomena yang seharusnya on-shoring menjadi friends-shoring, yang mana suatu negara memilih lebih berfokus melakukan perdagangan komoditas dengan negara mitra terdekatnya secara politik dibandingkan negara lain.

“Tiba-tiba kita dikategorikan apakah kamu temanku atau bukan lagi teman. Oleh karena itu, on-shoring menjadi friends-shoring dan menciptakan dinamika perdagangan dan investasi yang sangat berbeda. Lingkungan global ini tentunya mempengaruhi pilihan kebijakan dan peluang suatu negara,” ungkapnya.

Fragmentasi global tersebut, lanjutnya akan yang menimbulkan peningkatan nasionalisme dan populisme yang juga akan memberikan tekanan besar pada instrumen fiskal. Karena pada akhirnya fiskal, yaitu anggaran, merupakan cerminan aspirasi masyarakat, sehingga sentimen terhadap nasionalisme dan populisme pasti akan menular ke dalam kebijakan fiskal.

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Peran Indonesia pada Voluntary Carbon Market (VCM) Asia

Lebih lanjut, Sri Mulyani menambahkan banyak negara yang semakin inward looking atau memiliki cara pandang ke dalam, terutama sejak krisis keuangan global pada 2018 lalu.

Krisis ini memberikan implikasi yang besar bagi negara berkembang sehingga banyak negara menggunakan instrumen fiskal dan moneter untuk mengatasi dampak tersebut. Tantangan krisis ini juga juga bertambah saat dunia terpapar pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, dunia semakin terfragmentasi dengan perang teknologi dan fragmentasi geopolitik.

Fragmentasi global tersebut, menciptakan peningkatan nasionalisme dan populisme, dan memberikan tekanan besar pada sisi fiskal banyak negara, misalnya dalam bentuk defisit dan utang yang tinggi.

“Dan pada saat yang sama, alat fiskal juga harus mampu menahan tekanan yang datang dari guncangan global dan krisis keuangan global,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari