Stagflasi Serius Ancam Ekonomi Dunia, Ini Dampaknya Jika Terjadi di Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko terjadinya stagflasi serius mengancam perekonomian dunia. Pada awal Juni lalu, Bank Dunia memperingatkan invasi Rusia ke Ukraina telah menambah kerusakan ekonomi global yang sudah terguncang akibat pandemi Covid-19. Saat ini, banyak negara tengah menghadapi resesi ekonomi.

Reuters memberitakan, Bank Dunia dalam laporan Prospek Ekonomi Global mengatakan, perang di Ukraina telah memperbesar perlambatan ekonomi global, yang sekarang memasuki apa yang bisa menjadi "periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi yang berlarut-larut". Inilah yang disebut dengan stagflasi.

Bank Dunia memperingatkan bahwa prospek ekonomi dunia masih bisa menjadi lebih buruk lagi akibat stagflasi.

Dalam konferensi pers, Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan pertumbuhan global bisa turun menjadi 2,1% pada 2022 dan 1,5% pada 2023, mendorong pertumbuhan per kapita mendekati nol, jika risiko penurunan terwujud.

Stagflasi merupakan periode pertumbuhan yang lemah dan inflasi tinggi. Stagflasi terakhir kali terlihat pada 1970-an.

"Bahaya stagflasi cukup besar saat ini," tulis Malpass dalam kata pengantar laporan tersebut.

Baca Juga: Lonjakan Inflasi AS Menyeret Bursa Asia ke Zona Merah, Kamis (14/7)

Lantas, apakah stagflasi bisa terjadi di Indonesia?

Menurut Chief Economist Bank Permata Josua Pardede, kondisi stagflasi juga berpotensi terjadi di Indonesia jika stagflasi dialami oleh mitra dagang utama Tanah Air, seperti China dan Amerika Serikat. 

"Diperkirakan bila stagflasi terjadi, maka aliran ekspor dan investasi Indonesia akan cenderung terhambat di tangah proses pemulihan pasca pandemi," ujar dia kepada Kompas.com, Kamis (14/7/2022). 

Akan tetapi, Josua menilai potensi stagflasi di Indonesia sebenarnya masih relatif rendah meskipun realisasi inflasi terus merangkak naik. Sebab indikator konsumen Indonesia masih terjaga seiring dengan komitmen pemerintah menjaga harga berbagai jenis komoditas. 

Namun demikian, risiko stagflasi tetap ada. Ini disebabkan harga berbagai komoditas naik tinggi yang merupakan imbas dari terganggunya rantai pasok global saat ini. 

Baca Juga: BI Sebut Dunia Sedang Hadapi Risiko Stagflasi, Indonesia Masih Aman?

Apa yang terjadi jika terjadi stagflasi?

Josua mengatakan jika memang terjadi, stagflasi akan berimbas kepada daya beli masyarakat. Ini disebabkan oleh lonjakan inflasi dan konsumsi masyarakat yang justru menurun seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. 

"Penurunan daya beli masayarakat kemudian mendorong perlambatan pengeluaran konsumen secara global," kata Josua. 

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, risiko stagflasi yang juga diikuti oleh resesi akan berdampak kepada peningkatan biaya hidup. 

Selain harga komoditas yang meningkat, masyarakat juga akan dihadapi oleh suku bunga pinjaman yang tinggi. 

Sebagaimana diketahui, dalam rangka memerangi inflasi tinggi, bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga acuannya. Ini dilakukan untuk meredam daya beli masyarakat, sehingga inflasi dapat mereda. 

Baca Juga: Indonesia Masuk Daftar 15 Negara yang Berisiko Resesi dengan Angka 3%, Apa Artinya?

"Bagi pekerja tentu tentu imbasnya biaya hidup semakin mahal, sementara upah hanya naik rata-rata 1 persen, mau cicilan motor dan rumah juga semakin mahal karena suku bunga otomatis naik," tuturnya. 

Dalam jangka panjang, Bhima mengatakan pekerja rentan bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan meskipun tetap aktif bekerja. 

"Banyak tekanan yang disebut sebagai cost of living crisis atau krisis biaya hidup," ucap dia. 

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyebut dunia sedang menghadapi risiko stagflasi yang serius akibat beberapa hal yang menyebabkan gejolak dalam perekonomian. 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ancaman Stagflasi Semakin Nyata, Apa Dampaknya bagi Masyarakat?" Penulis : Rully R. Ramli Editor : Yoga Sukmana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie