JAKARTA. Kalangan industri menilai kunci penyatuan sistem pembayaran nasional atau National Payment Gateway (NPG) bukan dengan memonopoli usaha lewat penyatuan industri dalam satu wadah, melainkan penyatuan standardisasi. "Standardisasi itu dimonopoli tidak apa-apa. Asalkan yang pegang standardisasi itu adalah regulator atau asosiasi," pendapat Budi G Sadikin, Direktur Micro dan Retail Banking Bank Mandiri dalam Seminar bertajuk Mewujudkan NPG Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Rabu (14/3). Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tengah menyusun standardisasi terkait penggunaan sistem pembayaran. Standardisasi yang disusun BI lebih mengarah pada penyelenggaraan bisnis dengan meminta masukan dari Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Sementara itu, Kemenkominfo kebagian menyiapkan standar teknologi informasi yang bakal digunakan untuk NPG. Kompetisi penyelenggara switching Budi menjelaskan, dalam sistem NPG ada empat fungsi, yaitu principal, switching, settlement, dan payment gateway. Principal adalah fungsi pemberi izin, penentu prosedur, dan pengatur manajemen risiko. Switching merupakan penyelenggara sistem interkoneksi dan proses transaksi. "Penyelenggara switching itu banyak tidak apa-apa karena akan menimbulkan kompetisi dan bisa saling back up. Kompetisi bagus dalam hal penurunan harga. Sama seperti kredit, penurunan bukan karena dipaksa. Biarkan pasar berjalan. Efisiensi akan terjadi," terang Budi yang juga merupakan Ketua Umum ASPI. Abraham J Adrian, Direktur Strategi dan Pengembangan PT Rintis Sejahtera menambahkan, di negara-negara lain di kawasan ASEAN fungsi switching sistem pembayaran juga tidak dimonopoli oleh satu perusahaan. Di Malaysia, setidaknya ada empat perusahaan switching, di Filipina ada tiga perusahaan, sementara di Singapura ada dua perusahaan. Yang perlu digarisbawahi, lanjut Adrian, meski perusahaannya banyak, tapi ketika bernegosiasi dengan pihak asing yang ingin masuk ke industri sistem pembayaran nasional, semua harus satu suara. Dengan begitu, posisi perusahaan switching lokal pun akan solid dan kuat. Saat ini terdapat empat perusahaan switching di Indonesia, yakni PT Artajasa Pembayaran Elektronik (ATM Bersama), PT Rintis Sejahtera (ATM Prima) , PT Daya Network Lestari (Alto), dan PT Sigma Cipta Caraka (ATM Link). "Kami punya Forum Prinsipal. Dari masing-masing perusahaan switching sudah membahas. Artajasa, Rintis dan Alto juga sebagai asosiasi switching ASEAN. Jadi, kita bicarakan dulu sebelum negosiasi ke luar," kata Adrian.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Standard NPG baiknya dimiliki regulator & asosiasi
JAKARTA. Kalangan industri menilai kunci penyatuan sistem pembayaran nasional atau National Payment Gateway (NPG) bukan dengan memonopoli usaha lewat penyatuan industri dalam satu wadah, melainkan penyatuan standardisasi. "Standardisasi itu dimonopoli tidak apa-apa. Asalkan yang pegang standardisasi itu adalah regulator atau asosiasi," pendapat Budi G Sadikin, Direktur Micro dan Retail Banking Bank Mandiri dalam Seminar bertajuk Mewujudkan NPG Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Rabu (14/3). Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tengah menyusun standardisasi terkait penggunaan sistem pembayaran. Standardisasi yang disusun BI lebih mengarah pada penyelenggaraan bisnis dengan meminta masukan dari Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Sementara itu, Kemenkominfo kebagian menyiapkan standar teknologi informasi yang bakal digunakan untuk NPG. Kompetisi penyelenggara switching Budi menjelaskan, dalam sistem NPG ada empat fungsi, yaitu principal, switching, settlement, dan payment gateway. Principal adalah fungsi pemberi izin, penentu prosedur, dan pengatur manajemen risiko. Switching merupakan penyelenggara sistem interkoneksi dan proses transaksi. "Penyelenggara switching itu banyak tidak apa-apa karena akan menimbulkan kompetisi dan bisa saling back up. Kompetisi bagus dalam hal penurunan harga. Sama seperti kredit, penurunan bukan karena dipaksa. Biarkan pasar berjalan. Efisiensi akan terjadi," terang Budi yang juga merupakan Ketua Umum ASPI. Abraham J Adrian, Direktur Strategi dan Pengembangan PT Rintis Sejahtera menambahkan, di negara-negara lain di kawasan ASEAN fungsi switching sistem pembayaran juga tidak dimonopoli oleh satu perusahaan. Di Malaysia, setidaknya ada empat perusahaan switching, di Filipina ada tiga perusahaan, sementara di Singapura ada dua perusahaan. Yang perlu digarisbawahi, lanjut Adrian, meski perusahaannya banyak, tapi ketika bernegosiasi dengan pihak asing yang ingin masuk ke industri sistem pembayaran nasional, semua harus satu suara. Dengan begitu, posisi perusahaan switching lokal pun akan solid dan kuat. Saat ini terdapat empat perusahaan switching di Indonesia, yakni PT Artajasa Pembayaran Elektronik (ATM Bersama), PT Rintis Sejahtera (ATM Prima) , PT Daya Network Lestari (Alto), dan PT Sigma Cipta Caraka (ATM Link). "Kami punya Forum Prinsipal. Dari masing-masing perusahaan switching sudah membahas. Artajasa, Rintis dan Alto juga sebagai asosiasi switching ASEAN. Jadi, kita bicarakan dulu sebelum negosiasi ke luar," kata Adrian.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News