KONTAN.CO.ID - Digitalisasi makin berkembang. Namun, ada beberapa sektor yang belum memanfaatkan teknologi secara maksimal. Sebut saja dunia pendidikan. Di saat orang sudah mulai meninggalkan kertas, dunia pendidikan masih menggunakan kertas dalam berbagai keperluan. Misalnya saja, penyediaan naskah ujian yang jumlahnya menyesuaikan murid. Padahal biaya ini tidak murah. Contoh lainnya, di beberapa sekolah absen murid maupun guru masih menggunakan buku absen. Biaya yang tidak efisien ini karena belum meratanya pemanfaatan teknologi pada sistem administrasi belajar mengajar di Indonesia.
Berangkat dari hal itu, Susanto Tedja tergerak memajukan pendidikan lewat kemampuannya di bidang teknologi. Sebelumnya Susanto menjadi karyawan di Samsung Research Indonesia. Lantaran tertarik di dunia pendidikan ia mengembangkan kemampuannya itu secara sambilan. "Melihat prospeknya bagus, akhirnya saya keluar dari pekerjaan saya untuk fokus pada bisnis ini," kisah Susanto. Harapannya, dengan digitalisasi pada dunia pendidikan, antara pemilik yayasan, kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua murid bisa dekat dan saling mengontrol perkembangan pendidikan. Dari situlah, Susanto berangkat membuat Edconnect yang resmi beroperasi pada pertengahan 2015. Menurutnya, butuh waktu 1,5 tahun untuk merintisnya. Edconnect dibuat bukan hanya membuat dunia pendidikan lebih efisien dari segi biaya, tetapi yang sudah disebutkan adalah memudahkan semua untuk terlibat dalam hal pendidikan. Susanto menjabarkan bahwa dengan EdConnect ini guru cukup mengabsen, memberi tugas atau soal ujian, memberi nilai dan memantau rekapitulasi nilai seluruh muridnya lewat smart phone. Kemudian, orang tua murid juga bisa memantau secara langsung kegiatan anaknya di sekolah, melihat nilai tanpa harus menunggu pembagian rapor, serta berkomunikasi dengan guru lewat chat di dalam aplikasi. Untuk bisa memanfaatkan aplikasi ini hanya mengunduh gratis aplikasinya lewat google playstore. Nama aplikasinya adalah EdConnect Lite. Selain yang gratis, ada pula layanan yang berbayar. Philip Tedja, Marketing Manager Edconnect mengatakan, versi enterprise ini sudah banyak yang menggunakan. "Tiga sekolah sudah pakai SMP dan SMA Presiden University, Julia Gabriel, dan Internasional Design School dengan total 1.200-an murid," ujar Philip. Selain tiga sekolah itu ada 13 sekolah yang juga menggunakan jasanya tetapi memakai label pribadi (nama sekolah masing-masing) atau yang disebut Susanto sebagai white labeling. Dalam versi enterprise, selain bisa memanfaatkan di versi gratis juga ada fitur lainnya. Misalnya kepala sekolah atau pemilik yayasan bisa mengelola sekolah dengan mudah, efisien dari segi biaya dan kertas. Selain itu bisa mengontrol keuangan sekolah dengan sangat cepat. Menganalisa jumlah siswa baru yang masuk di tiap jenjang pendidikan. Dari sisi absensi, lebih bisa mendisiplinkan murid dan guru lewat pantauan absensi sampai menjadwalkan kelas dan mencocokkan dengan ketersediaan guru dan murid. "Biayanya Rp 120.000 per anak per tahun. Atau sekitar Rp 10.000 per bulan," kata Philip. Untuk yang
white labeling harganya jelas beda. Lantaran program dibeli oleh sekolah dan menggunakan label sekolah tersebut.
Santoso bilang ini lebih cocok untuk murid yang di atas 2.000. Pasalnya, harga yang ditawarkan di luar
maintenance lebih dari Rp 300 juta. Philip menambahkan sampai akhir tahun, Edconnect menargetkan bisa menambah satu sekolah tiap bulannya. Alias menambah tiga sekolah lagi hingga akhir 2017. "Di 2018, target kami bisa menambah 50 sekolah," ujar Philip. Edconnect saat ini fokus menawarkan layanannya pada sekolah berbagai tingkat mulai dari TK hingga SMA di sekitar Jabodetabek dan Bandung. Dan juga mulai merambah Surabaya. Sedangkan untuk universitas sendiri, Edconnect tidak banyak aktif menawarkan lantaran Universitas biasanya sudah punya tim IT tersendiri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini