KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi digital di Indonesia berkembang pesat dalam kurun waktu satu setengah dekade terakhir. Hal itu terlihat dari merajalelanya perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang biasanya disebut startup di berbagai bidang. Mulai dari bidang usaha perdagangan, transportasi, perjalanan dan akomodasi, keuangan, kesehatan, pendidikan, hingga pertanian. Contohnya adalah Tokopedia yang berdiri pada 2009, Gojek dan Bukalapak pada 2010, Tiket.com 2011, Traveloka 2012, Alodokter dan Ruang Guru pada 2014, TaniHub 2015, Halodoc dan Xendit pada 2016, serta OVO pada 2017. Dalam waktu yang tergolong singkat, sejumlah perusahaan tersebut berhasil meraih
status unicorn yang merupakan istilah bagi startup yang memperoleh nilai valuasi lebih dari sama dengan US$ 1 miliar-US$ 10 miliar. Beberapa di antaranya adalah Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Tiket.com, OVO, dan Xendit.
Sebagian perusahaan tersebut juga sudah mampu memperluas pasarnya ke luar negeri, terutama ke negara-negara yang berada di regional Asia Tenggara.
Baca Juga: Gebyar Traveloka, Kompetisi Berhadiah Istimewa Dukung Konsumen Setia Menikmati Hidup Traveloka misalnya, telah merambah ke Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina serta menjadi aplikasi layanan perjalanan paling populer di Asia Tenggara. Untuk membawa suatu perusahaan go international dan menjadi unggulan, hal ini tentunya tak terlepas dari peran para sumber daya manusia (SDM) alias talenta di dalamnya. Kini, Traveloka memiliki lebih dari 2.000 karyawan di enam negara yang mayoritas berbasis di Indonesia. Juru Bicara Traveloka menyampaikan, Traveloka memberikan tantangan bagi talentanya untuk terus belajar dan mempersiapkan diri untuk keluar dari zona nyaman. Perusahaan membuka peluang bagi talenta untuk menerapkan dan meningkatkan pengetahuan yang lebih ekstensif di bidang tertentu, serta memperluas kemampuan ke bidang strategis lainnya. Bentuk konkretnya, Traveloka secara rutin mengadakan serangkaian pelatihan kapasitas untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan SDM. Hal ini untuk memastikan SDM memiliki keahlian yang relevan dengan teknologi terkini dan dinamika industri digital. Komitmen Traveloka terhadap pengembangan talenta diwujudkan lebih lanjut melalui Traveloka Academy yang punya misi menumbuhkan budaya belajar yang mendukung dan pembelajaran menuju penguasaan.
Baca Juga: Sambut Kebangkitan Industri Pariwisata Nasional, Traveloka Gencar Berinovasi "Traveloka Academy membuat kerangka kerja dan mekanisme bagi talenta perusahaan untuk mengembangkan kemampuan dan kemajuan karir mereka di berbagai sektor keahlian termasuk data, teknik, produk, dan desain," kata Juru Bicara Traveloka saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (20/2). Melalui operasi bisnis perusahaan, para talenta punya kesempatan untuk meningkatkan keterampilan di bidang keahlian yang sebelumnya belum tersedia di industri, seperti pakar
cloud computing, data
engineer atau data
analyst, serta pakar di bidang
sustainability. Di samping itu, untuk mendukung pengembangan talenta lokal pada ekosistem industri teknologi dan komunitas digitalnya, Traveloka berkolaborasi dengan pemerintah melalui Program Kampus Merdeka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Program ini telah berhasil mengakomodir lebih dari 12.000 pendaftar mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia untuk program magang Traveloka.
Baca Juga: Wisata ke Lembang Park & Zoo Seru Bersama Keluarga Selain itu, dengan Monash University Australia, Traveloka membentuk program MITRA 5.0 yang berhasil melatih 60 pengajar dari 35 universitas di seluruh Indonesia. Lalu, dalam program Google Bangkit, para talenta Traveloka turut mengambil peran sebagai pengajar, pembicara tamu, dan mentor. "Traveloka melihat kualitas talenta digital Indonesia semakin membaik dari waktu ke waktu serta turut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital yang memiliki dampak sosial-ekonomi yang konkret," tandas Juru Bicara Traveloka.
Daya Saing Digital
Dilihat dari indeks daya saing digital, perkembangan talenta digital di Indonesia memang menunjukkan tren yang positif. Berdasarkan East Venture Digital Competitiveness Index (EV-DCI), Indonesia memperoleh skor 35,2 pada 2022, meningkat dari tahun 2021 yang sebesar 32,1 dan tahun 2020 sebesar 27,9. Bangkitnya daya saing digital Indonesia menunjukkan peluang yang sangat besar untuk membuka potensi ekonomi digital melalui talenta yang dimiliki. Apalagi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memproyeksi, potensi valuasi ekonomi digital di Indonesia dapat mencapai Rp 4.531 triliun atau setara US$ 315,5 miliar pada 2030. Berdasarkan data Startup Ranking yang dikutip Kontan.co.id pada Jumat (24/2), terdapat 2.488 startup di Indonesia. Jumlah ini membuat Indonesia berada di peringkat tujuh dunia setelah Amerika Serikat dengan jumlah 76.779 startup, India 16.711, Inggris 6.969, Kanada 3.849, dan Australia 2.845. Untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut, Indonesia memerlukan lebih banyak talenta digital yang unggul. Pemerintah pun punya target Indonesia dapat mencapai 9 juta talenta digital pada tahun 2030.
Baca Juga: Traveloka: Digitalisasi Perkuat Pemulihan Industri Pariwisata di Bandung Raya Dekan Fakultas Bisnis Sampoerna University Dr. Wahyoe Soedarmono. Ph. D. menilai, tren perkembangan startup tentunya akan memberikan peluang sekaligus tantangan bagi generasi muda. Perkembangan ini menuntut kemampuan generasi muda untuk semakin inovatif menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat dan menghasilkan startup yang kontributif bagi pembangunan nasional. Di tengah kondisi ini, ia menilai penting bagi generasi muda untuk menguatkan kemampuan analytical, innovative thinking, dan problem solving skills. "Startup yang inovatif memberikan solusi bagi permasalahan masyarakat dan mampu beradaptasi dengan dinamika perekonomian secara efektif akan menjadi startup yang kompetitif di tingkat nasional maupun internasional," kata Wahyoe. Dalam memajukan industri di tengah perkembangan informasi teknologi (IT), generasi muda juga perlu menguasai hard skills yang sesuai dengan kebutuhan industri atau pasar. Begitu juga dengan berbagai soft skills, seperti critical thinking, creative thinking, oral communication, quantitative literacy, dan written communication. SDM yang mempunyai hard skills dan soft skills yang efektif tentunya akan lebih adaptif, inovatif, tangguh, serta punya kepemimpinan tinggi saat menghadapi berbagai perubahan dan perkembangan di zaman yang sangat dinamis seperti sekarang.
Baca Juga: Upaya Traveloka Percepat Pemulihan Pariwisata di Kawasan Asia Tenggara Di Sampoerna University misalnya, kurikulum didesain agar peserta didik memiliki kompetensi berstandard internasional serta relevan dengan perkembangan global dan nasional. Misalnya, Sampoerna University menerapkan pembelajaran berbasis dunia nyata dan menggunakan studi kasus bisnis sungguhan dengan tenaga pengajar yang punya pengalaman profesional di dunia industri. Lalu, mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai ide dan solusi inovatif atas permasalahan tersebut serta menyelesaikannya dengan menggunakan alat atau perangkat lunak digital untuk memfasilitasi bisnis, seperti Power BI, Tableau, dan R Studio. Kurikulum di Sampoerna University juga mewajibkan mahasiswa untuk mengambil magang.
Mencontoh India
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim melihat, dalam mengembangkan talenta digitalnya, Indonesia dapat mencontoh India. Negara ini mendapatkan julukan "sarang ahli komputer" dan kebanyakan CEO bigtech dunia adalah orang India. Satriawan bercerita, di India, beberapa sekolah segmentatif semacam Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menggunakan design thinking, yakni model pembelajaran yang mengutamakan "desain" sebagai cara berpikir. Langkah-langkah pembelajarannya memacu siswa untuk "berpikir desain" dengan lima tahapan, yaitu empathize, define, ideate, prototype, dan test. Menurutnya, tahapan cara berpikir ini sangat berorientasi produk karena ada langkah prototipe dan tes.
Baca Juga: Garuda Indonesia Beri Potongan Harga Tiket hingga 15%, Cek Rute Penerbangannya Tahun 2022, kementerian pendidikan di India mengumumkan menggunakan
design thinking dan
innovation course sebagai pembelajaran sejak tingkat 6 Sekolah Dasar (SD). Program ini bertujuan melatih generasi muda India untuk maju menuju inovasi dan kewirausahaan. "Pemerintah India sadar, bahwa cara berpikir itu lebih krusial daripada kemampuan teknis semata," ucap Satriawan. Di Indonesia, Kemendikbudristek memang gencar melakukan digitalisasi sekolah dan membangun platform digital. Akan tetapi, menurutnya, hal ini tidak berkorelasi dengan peningkatan keterampilan digital karena kebijakan tersebut hanya mendudukkan guru dan siswa sebagai user atau pengguna semata, tetapi minim ke arah menjadi produsen atau inovator di bidang IT. "Pendidikan harus menyiapkan generasi-generasi dengan skill IT, tetapi bukan hanya sebagai pengguna, namun harus mampu melahirkan para pembuat dan inovatornya," kata Satriawan. Hal-hal yang sifatnya paradigmatik juga harus diperkuat di lingkungan guru dan siswa, seperti
critical thinking, computational thinking, dan
creative thinking. Pemikiran semacam ini harus ada dalam pembelajaran di kelas dan menjadi budaya dominan.
Baca Juga: Traveloka: Bus Kian Diminati, Permintaan Konsumen Naik Hampir 3 Kali Lipat di 2022 Yang tak kalah penting, siswa perlu mempunyai keterampilan sosial. Dalam mengembangkan IT, siswa harus mampu bekerja sama dengan orang asing dan tim yang lebih besar maupun tim kecil. Tentu saja, hal ini ditunjang dengan peningkatan skill gurunya. Oleh sebab itu, P2G berharap tidak ada lagi persoalan kesejahteraan guru karena para guru harus fokus mengajar serta mengasah kemampuan siswa yang akan menjadi inovator-inovator baru. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli