KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) melaporkan, realisasi penagihan utang para obligor dana BLBI baru mencapai Rp 28,53 triliun sampai dengan 25 Maret 2023. Realisasi tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan, yakni sebesar Rp 110,45 triliun. Padahal, tugas dari Satgas BLBI akan berakhir pada Desember 2023. Bukan cuma realisasinya saja yang rendah, Anggota Komisi II DPR RI Wihadi Wiyanto mengungkapkan banyak aset milik obligor yang sudah tidak jelas statusnya karena selama lebih dari 20 tahun dibiarkan begitu saja.
Misalnya dari tanah yang awalnya hanya kebun sekarang sudah menjadi real estate. Ia mempertanyakan apakah Satgas BLBI sudah melakukan pendataan mengenai aset-aset obligor. Salah satu obligor yang diketahui belum melunasi kewajibannya kepada pemerintah itu adalah Lydia Muchtar dan Atang Latief, pemilik Bank Tamara (Tamara Center).
Baca Juga: Ketua Satgas BLBI Beberkan Kendala dalam Menagih Utang Obligor Berdasarkan pengumuman Satgas BLBI di media cetak nasional, keduanya akan dipanggil Satgas BLBI untuk dimintai untuk melunasi kewajiban mereka kepada negara pada 30 Maret 2023. "Aset-aset negara seperti ini berarti tidak dirampas, artinya hanya dijaminkan tapi jaminkan hanya tempatnya saja, sertifikatnya tidak ada. Kalau ini terjadi kita dorong mengenai undang-undang perampasan aset," ujarnya, Selasa (28/3). Oleh karena itu, ia menilai ada urgensi kehadiran Undang-undang Perampasan Aset ini perlu didorong sehingga apa yang menjadi aset BLBI bisa dirampas oleh negara dengan harga yang mungkin sudah berkali-kali lipat. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah siap membuat UU tersebut. "Menurutnya bisa saja malahan pemerintah yang tidak siap untuk membuat undang-undang tersebut. Karena banyak juga yang hilang dan segalam macam asetnya itu," ucap Wihadi. Anggota Komisi XI DPR RI M Misbakhun mengatakan, para obligor merupakan orang-orang yang membuat negara ini hampir bangkrut. Banyak para obligor juga tidak tersentuh oleh penegakan hukum, mereka pada gilirannya masuk dalam daftar orang kaya di Indonesia saat ini. "BLBI memang punya sejarah panjang, sejarah panjangnya sampai sekarang ujungnya masih belum kita ketahui. Penyelesaiannya seperti apa terhadap aset-aset yang dikuasai oleh pemerintah," tegasnya. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR dengan Ketua Satgas BLBI yang juga Direktur Jenderal Kekayaan Negara (Dirjen KN) Rionald Silaban, Misbakhun juga mempertanyakan sejauhmana penelusuran aset yang dilakukan Satgas BLBI.
Khususnya apakah aset yang sekarang dikuasai obligor dan bisa kembali kepada pemilik lama melalui berbagai skema. Sementara dalam Master Settlement And Acquitition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), tidak diperbolehkan segala macam cara mengembalikan aset kepada pemiliknya. "(BLBI) harus tegas, tegas dalam artian melakukan asset tracing. Supaya apa? Preseden membangkrutkan Negara melalui mekanisme utang piutang antara debitur dan kreditur melalui mekanisme perbankan itu tidak berulang," ucap Misbakhun. Asset tracing sendiri dijelaskan dia adalah aset yang sudah disita oleh Negara kemudian dijual kembali. Keberadaannya tidak dikuasai kembali oleh pemilik lamanya. Baik itu aset yang bersifat produktif atau aset yang bersifat tetap atau aset yang lain, termasuk hak-hak penguasaan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Lamgiat Siringoringo