Stimulus akan mengangkat harga minyak



JAKARTA. Harga minyak cenderung melemah pada pada minggu ketiga di September 2012. Dalam sepekan, minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman November 2012 di Bursa NYMEX, telah melorot 6,48% menjadi US$ 92,89 per barel, Jumat (21/9).

Survei Bloomberg memperkirakan, harga minyak mentah di New York akan kembali tertekan pada minggu ini. Kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia, Eropa serta Amerika Utara menjegal langkah minyak.

Mengutip survei tersebut, manufaktur di China mengalami kontraksi di bulan kesebelas. Sementara, angka ekspor di Jepang menurun pada Agustus 2012. Di zona euro, kegiatan produksi industri dan services jatuh ke level terendah dalam 39 bulan terakhir di September 2012.


"Permintaan minyak diproyeksikan akan menurun akibat data ekonomi yang buruk. Situasi itu melanjutkan tekanan bagi minyak," ujar John Kilduff, Analis Again Capital LLC kepada Bloomberg.

Ada potensi naik

Direktur eksekutif International Energy Agency, Maria van der Hoeven, menuturkan, sinyal lain penurunan harga minyak datang dari persediaan minyak mentah Arab Saudi, Kanada dan Amerika Serikat (AS) yang meningkat.

Di sisi lain, spekulasi kenaikan harga minyak masih bermunculan, setelah tangki penyimpanan bahan bakar di Petroleos de Venezuela SA, Venezuela, terbakar, akhir pekan lalu. Spekulasi yang muncul setelah musibah yang dipicu petir itu adalah merosotnya stok bensin. Tak heran jika muncul ekspektasi harga akan bergerak naik.

Suluh Adil Wicaksono, analis Askap Futures, memprediksi, minyak pekan ini akan cenderung naik. Emas hitam itu akan memiliki support baru, US$ 90,50 per barel. Itu merupakan pertanda, gerak harga minyak tidak akan bergerak ke bawah.

Komitmen bank sentral AS yang ingin menggerakkan pertumbuhan ekonomi, membawa sentimen positif untuk mendongkrak harga minyak.

Dua faktor penting yang akan menopang harga minyak pekan ini adalah indeks kepercayaan konsumen AS yang akan dirilis Selasa (25/9). Selain itu, data persediaan minyak mentah yang diprediksi akan menurun.

Persediaan minyak di Negeri Paman Sam, yang pekan lalu naik hingga 8,5 juta barel, minggu ini diperkirakan akan tergerus. "Itu bisa kembali mengangkat harga minyak," ujar Suluh.

Secara teknikal, relative strength index (RSI) berada di level 30%. Artinya minyak sudah memasuki area jenuh jual atau oversold. Jadi, potensi naik lebih kuat daripada koreksi. Moving average (MA) 100 menunjukkan tren bearish, sementara moving average convergence divergence (MACD) masih berada di area negatif, menunjukkan ancaman koreksi.

Juni Sutikno, Analis Philip Futures Indonesia, menambahkan, harga minyak saat ini telah memasuki area jenuh jual. Secara teknikal, masa koreksi pergerakan harga minyak sudah hampir selesai. Indikator stochastic sudah meninggalkan area negatif dan berbalik arah.

Bank sentral di berbagai negara kini membuka peluang untuk menggelontorkan stimulus, termasuk China. Negara Tirai Bambu itu, termasuk dalam kelompok pengguna energi terbesar. Jika permintaan dari negara itu naik, harga minyak akan terangkat.

Otoritas moneter di Negeri Tembok Raksasa berniat memberikan stimulus, agar ekonomi China tumbuh lebih tinggi lagi..Selama sepekan, Juni memperkirakan harga minyak berada di kisaran US$ 84,15-US$ 102,68 per barel. Hitungan Suluh, harga minyak pekan ini akan berkonsolidasi di kisaran US$ 95,97 per barel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini