JAKARTA. Penguatan index USD pasca pertemuan FOMC menekan harga komoditas termasuk aluminium. Ditambah lagi prediksi memburuknya stok aluminium yang tidak diiringi dengan membaiknya permintaan global membuat harga aluminium ambruk. Mengutip Bloomberg, Kamis (9/4) pukul 10.03 am Shanghai harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tercatat menukik 0,28% ke level US$ 1.766 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Harga ini juga sudah merosot 0,89% dalam sepekan terakhir. Berdasarkan laporan kuartal satu 2015 Alcoa Inc, produksi aluminium global akan berlebih 326.000 metrik ton di tahun 2015. Permintaan aluminium diduga hanya naik 6,5% tahun ini atau menjadi kenaikan terendah sejak 2012 silam. Sementara di sisi lain, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg Intelligence Kamis (9/4) produksi aluminium China tahun 2014 sudah naik 9,1% . Ekspor nasional China membuat terjadinya kelebihan stok walaupun beberapa smelter aluminium seperti Alcoa dan Co Rusal Inggris sudah melakukan pemangkasan produksi. “Tidak bisa dilupakan bahwa penguatan index USD setelah FOMC memberikan tekanan terhadap harga aluminium,” kata Ibrahim, Analis dan Direktur PT Ekuilibrium Komoditi Berjangka. Sampai Kamis (9/4) pukul 14.50 WIB index USD naik ke level 98,30. Notulensi FOMC membentuk opini pasar bahwa kenaikan suku bunga AS masih bisa terjadi di tahun ini. Hal ini terlihat dari tidak digunakannya kata sabar dalam pernyataan tersebut. Walaupun beberapa pejabat The Fed masih memiliki persepsi berbeda mengenai waktu yang pas untuk menaikkan suku bunga tersebut. “Pelaku pasar kembali fokus pada index USD. Perlu diingat juga peluang index USD untuk kembali naik ke level 100 di bulan April ini masih terbuka,” jelas Ibrahim. Faktor lainnya yang menyeret langkah aluminium adalah perlambatan properti yang terjadi di China. “Perlu diingat bulan Februari 2015 terjadi perlambatan 60% dalam transaksi properti China,” kata Ibrahim. Sebagai salah satu bahan utama industri properti, maka tidak mengherankan kalau harga aluminium masih sulit pulih. Apalagi Menteri Tanah dan Sumber Daya China telah memerintahkan beberapa kota dan kabupaten untuk menunda dan mengurangi pasokan lahan baru. Berdasarkan publikasi kementerian China seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (27/3) bahwa kebijakan ini dilakukan guna mengontrol fase konstruksi pembangunan rumah baru yang sudah kelebihan stok diChina. Ibrahim menduga penurunan ini masih akan berlanjut pada Jumat (10/4). Walaupun rilis data ekonomi AS diprediksi kurang memuaskan, namun faktor keadaan ekonomi global jelas lebih berpengaruh. “Saat ini terjadi tarik ulur antara The Fed dan bank sentral negara lainnya seperti ECB, BOJ, dan China,” papar Ibrahim. Sementara bank sentral lainnya sedang berupaya melonggarkan stimulus untuk mendongkrak perekonomian, The Fed justru berpeluang melakukan pengetatan kebijakan moneter. Efeknya, terjadi penyerapan USD yang tinggi di pasar oleh negara-negara yang membeli obligasi. Dollar AS kembali menjadi incaran dan tentunya ini mendorong penguatan USD. Tentu keadaan ini membuat tidak ada peluang bagi harga komoditas termasuk aluminium untuk menguat. “Walaupun mungkin pelemahan yang terjadi tipis karena laju index USD tertahan jika data buruk sesuai prediksi,” ujar Ibrahim. Adapun data ekonomi yang dinanti adalah rilis jobless claim mingguan AS yang kembali diduga mengalami pembengkakan dari 268 ribu menjadi 283 ribu. Secara teknikal, indikator moving average (MA) dan bollinger band bergerak 70% di atas bollinger bawah yang artinya memberikan peluang untuk turun lanjutan meski tipis. Garis moving average convergence divergence (MACD) juga 60% negatif yang mengindikasikan pergerakan ke bawah. Stochastic 70% negatif mengajak turun tajam. Hanya relative strength index (RSI) yang masih wait and see. “Jumat (10/4) harga aluminium bisa bergulir di antara US$ 1.700 – US$ 1.722 per metrik ton,” prediksi Ibrahim. Sedangkan untuk sepekan mendatang harga aluminium diduga bergulir di kisaran support US$ 1.670 per metrik ton dan resistance US$ 1.725 per metrik ton. - NAMIRA DAUFINA Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Stok aluminium berlebih, harga tergelincir
JAKARTA. Penguatan index USD pasca pertemuan FOMC menekan harga komoditas termasuk aluminium. Ditambah lagi prediksi memburuknya stok aluminium yang tidak diiringi dengan membaiknya permintaan global membuat harga aluminium ambruk. Mengutip Bloomberg, Kamis (9/4) pukul 10.03 am Shanghai harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange tercatat menukik 0,28% ke level US$ 1.766 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Harga ini juga sudah merosot 0,89% dalam sepekan terakhir. Berdasarkan laporan kuartal satu 2015 Alcoa Inc, produksi aluminium global akan berlebih 326.000 metrik ton di tahun 2015. Permintaan aluminium diduga hanya naik 6,5% tahun ini atau menjadi kenaikan terendah sejak 2012 silam. Sementara di sisi lain, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg Intelligence Kamis (9/4) produksi aluminium China tahun 2014 sudah naik 9,1% . Ekspor nasional China membuat terjadinya kelebihan stok walaupun beberapa smelter aluminium seperti Alcoa dan Co Rusal Inggris sudah melakukan pemangkasan produksi. “Tidak bisa dilupakan bahwa penguatan index USD setelah FOMC memberikan tekanan terhadap harga aluminium,” kata Ibrahim, Analis dan Direktur PT Ekuilibrium Komoditi Berjangka. Sampai Kamis (9/4) pukul 14.50 WIB index USD naik ke level 98,30. Notulensi FOMC membentuk opini pasar bahwa kenaikan suku bunga AS masih bisa terjadi di tahun ini. Hal ini terlihat dari tidak digunakannya kata sabar dalam pernyataan tersebut. Walaupun beberapa pejabat The Fed masih memiliki persepsi berbeda mengenai waktu yang pas untuk menaikkan suku bunga tersebut. “Pelaku pasar kembali fokus pada index USD. Perlu diingat juga peluang index USD untuk kembali naik ke level 100 di bulan April ini masih terbuka,” jelas Ibrahim. Faktor lainnya yang menyeret langkah aluminium adalah perlambatan properti yang terjadi di China. “Perlu diingat bulan Februari 2015 terjadi perlambatan 60% dalam transaksi properti China,” kata Ibrahim. Sebagai salah satu bahan utama industri properti, maka tidak mengherankan kalau harga aluminium masih sulit pulih. Apalagi Menteri Tanah dan Sumber Daya China telah memerintahkan beberapa kota dan kabupaten untuk menunda dan mengurangi pasokan lahan baru. Berdasarkan publikasi kementerian China seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (27/3) bahwa kebijakan ini dilakukan guna mengontrol fase konstruksi pembangunan rumah baru yang sudah kelebihan stok diChina. Ibrahim menduga penurunan ini masih akan berlanjut pada Jumat (10/4). Walaupun rilis data ekonomi AS diprediksi kurang memuaskan, namun faktor keadaan ekonomi global jelas lebih berpengaruh. “Saat ini terjadi tarik ulur antara The Fed dan bank sentral negara lainnya seperti ECB, BOJ, dan China,” papar Ibrahim. Sementara bank sentral lainnya sedang berupaya melonggarkan stimulus untuk mendongkrak perekonomian, The Fed justru berpeluang melakukan pengetatan kebijakan moneter. Efeknya, terjadi penyerapan USD yang tinggi di pasar oleh negara-negara yang membeli obligasi. Dollar AS kembali menjadi incaran dan tentunya ini mendorong penguatan USD. Tentu keadaan ini membuat tidak ada peluang bagi harga komoditas termasuk aluminium untuk menguat. “Walaupun mungkin pelemahan yang terjadi tipis karena laju index USD tertahan jika data buruk sesuai prediksi,” ujar Ibrahim. Adapun data ekonomi yang dinanti adalah rilis jobless claim mingguan AS yang kembali diduga mengalami pembengkakan dari 268 ribu menjadi 283 ribu. Secara teknikal, indikator moving average (MA) dan bollinger band bergerak 70% di atas bollinger bawah yang artinya memberikan peluang untuk turun lanjutan meski tipis. Garis moving average convergence divergence (MACD) juga 60% negatif yang mengindikasikan pergerakan ke bawah. Stochastic 70% negatif mengajak turun tajam. Hanya relative strength index (RSI) yang masih wait and see. “Jumat (10/4) harga aluminium bisa bergulir di antara US$ 1.700 – US$ 1.722 per metrik ton,” prediksi Ibrahim. Sedangkan untuk sepekan mendatang harga aluminium diduga bergulir di kisaran support US$ 1.670 per metrik ton dan resistance US$ 1.725 per metrik ton. - NAMIRA DAUFINA Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News